38 - Hela Napas Memburu

767 16 9
                                    

Lutut Vita kembali melemas. Dia terpaksa berpegangan pada tembok. Luna memblokir nomornya.

"Ya, Tuhan!" erang Vita sambil terduduk lemas di lantai teras rumah mungilnya. 

Aku nyesel jadi anaknya ibu.

Ucapan Luna tadi terus bergema di kepala Vita. Kata-kata yang meskipun ia tahu hanyalah luapan emosi sesaat, tetap mengiris hati. Ibu mana yang tidak sedih kala anak yang ia kandung sembilan bulan, bertaruh nyawa saat melahirkan, hingga susah payah ia besarkan, mengatakan hal seperti itu? 

Bulir bening mengalir di pipi wanita bertubuh tambun itu. Baru kali ini Luna tampak marah besar kepadanya, padahal ia hanya membuka ponsel anak itu.

Sebuah gerobak bakso yang mangkal di seberang rumah Vita tampak mulai disambangi ibu-ibu yang asyik dengan gosip terbaru. Buru-buru Vita mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan lalu masuk. Jangan sampai mereka melihat keadaan dirinya yang kacau ini kemudian menjadikannya bahan gosip.

Satu jam berlalu, kembali Vita menekan panggilan cepat smartphone untuk menghubungi Luna. Lagi-lagi, hanya kotak suara yang menjawab.

Vita mulai putus asa. Hanya satu hal yang terlintas di pikirannya, minta tolong Pras untuk menghubungi Luna. Walaupun mungkin mantan suaminya itu akan marah atau menganggap ia sebagai ibu tidak becus, biarlah, asalkan ia tahu keberadaan putrinya.

"Mas, nomorku diblok Luna. Bisa tolong hubungi dia, tanyakan dia di mana?" tanya Vita ketika Pras menjawab panggilan teleponnya.

"Kok bisa diblok?" selidik Pras.

"Iya, ini kan gara-gara kamu juga, Mas. Kamu bilang Luna pernah jalan-jalan di mall sama om-om. Nah, aku mau nyelidiki siapa teman dekatnya Luna," terang Vita. Wanita itu mendebas keras sebelum melanjutkan perkataannya, "Luna marah karena aku buka-buka HP-nya tanpa izin. Terus dia pergi dan sampai sekarang belum pulang." 

"Lah kamu kok malah nyalahin aku?" protes Pras.

"Bukan nyalahin, Mas. Cuma aku jadi terpancing gitu, loh. Ya sudah, sekarang intinya kamu bisa bantu aku cari Luna, nggak?" 

"Sorry, Vit, aku nggak bisa bantu nyari Luna. Aku masih di Puncak," kilah Pras.

Kekesalan Vita bertambah. Bisa-bisanya Pras bersantai ke Puncak sementara ia di sini bingung memikirkan Luna.

"Jadi kamu lebih memilih senang-senang, sedangkan anak kita sekarang di mana kita nggak tahu?" Nada suara Vita naik satu oktaf.

"Vit, tolong kamu ngerti, dong. Aku sudah janji ajak anakku jalan-jalan kalau ulang tahun. Soal Luna, nanti aku telepon anak itu dan segera kasih kabar kamu, ya," janji Pras.

"Telepon sekarang ya, Mas. Aku tunggu kabarnya segera."

Vita mematikan sambungan telepon begitu mantan suaminya mengatakan iya.

Terdengar azan isya berkumandang, tetapi Luna belum juga pulang. Biasanya meskipun marah, putrinya akan pulang saat keperluannya selesai lalu mengunci diri di kamar.

Ayah Luna juga belum memberi kabar. Vita semakin cemas. Ia mencoba menghubungi ponsel anaknya lagi. Namun, panggilannya selalu dialihkan. 

Vita berpikir keras, ke mana kiranya Luna pergi. Ia mengingat-ingat apa saja yang bisa menjadi petunjuk.

Sayangnya Vita tak melihat dengan jelas siapa yang tadi menjemput Luna. Namun, dari jenis dan warna motornya, ia teringat sesuatu. "Tunggu, tadi itu seperti motornya Cheryl," gumamnya.

Flirting My Boyfriend's Dad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang