16

46 29 6
                                    

Hai hai, mari apresiasi kerajinanku.

Aku singkat singkatin part aja ya, biar cepat ending. Hehe:v

( T E N T A N G  R I N A I )

*

Dewa benar-benar tulus dengan pelukannya. Sesekali, tangannya terangkat untuk mengelus surai coklat milik Hujan Rinjani.

Dan ternyata, Hujan Rinjani tidak keberatan dengan apa yang Dewa lakukan. Malah ia, terlihat seperti bermanja-manja dalam pelukan Dewa.

"Apa aku harus mampir?" Tanya Dewa hangat. Melihat Hujan Rinjani yang terlalu larut dalam pelukannya.

"Gak usah." Ucap Hujan Rinjani terdengar tidak terlalu jelas, karena wajahnya masih melekat di dada Dewa.

"Gak mampir, tapi jangan buat khawatir ya."

Perkataan Dewa membuat Hujan Rinjani merenggangkan rengkuhannya.

"Iya, udah gih, pulang sana!" Hujan Rinjani mendorong pelan Dewa untuk menjauh.

"Kalo sedih sedih lagi, nanti aku peluk lho." Tukas Dewa sebelum benar-benar meninggalkan Hujan Rinjani.

"Sembarang." Hujan Rinjani mengerucutkan bibirnya.

"Ih, sok nolak. Padahal dari tadi kamu yang kenyamanan karena aku peluk." Goda Dewa lalu melambaikan tangannya.

"See you soon, babe." Pamit Dewa.

Hujan Rinjani membalas lambaian tangannya dan tersipu saat Dewa menyebutnya babe.

Adegan romantisme sudah berakhir, tapi seseorang yang terpaku tetap saja pada tempatnya.

Seseorang yang sudah sekian lama menghilang. Dan memilih kembali, hanya sekedar memastikan bahwa saudarinya baik-baik saja.

Hujan Rinjani tersenyum begitu senang. Mengingat dunianya yang mulai memulih. Begitu juga orang dari tadi memperhatikannya, turut bersuka cita atas bahagianya Hujan Rinjani.

"Maaf, Jan. Aku belum bisa menampakkan diri. Kuharap kamu selalu baik-baik saja." Gumamnya.

Kok aku tiba-tiba merinding, ya. Batin Hujan Rinjani.

Hujan Rinjani menelusuri pandang ke sekitarnya. Berjaga-jaga jika ada yang tiba-tiba menghampirinya. Karena ia merasa seperti sedang diawasi.

Tapi ia tidak berhasil mendapati apapun atau siapapun. Dan, daripada bulu kuduknya terus meremang, ia lebih memilih untuk memasuki rumahnya, tempat teraman yang ia punya.

* * *

Hujan terus dengan meriahnya. Membasahi setiap sudut kota Yogyakarta.

Selepas mengendap-endap demi memastikan kabar sang saudari, Rinai melanjutkan perjalanannya.

Menembus derasnya hujan, dan berharap semua dosa-dosanya ikut tertebus bersama derasnya hujan.

Dia sangat tahu kesalahannya. Yaitu, meninggalkan keluarga kecilnya saat sedang rapuh-rapuhnya.

Dan sangat sedih pastinya saat tahu, bunda tiada di waktu ia tidak bersamanya.

"Gue emang pecundang, Jan. Tapi gue tetap bertanggung jawab untuk Lo selama ini." Gumamnya di dalam keriuhan hujan.

Saat ini, Rinai memilih untuk ke pusara bunda. Yang belum ia kunjungi sekalipun.
(Memang banyak dosamu, kalau begitu)

Rinai menangis histeris saat tiba di makam bernisankan "Rinjani", nama sang bunda.

Benar-benar kenyataan pahit yang harus ia terima.

"Bunda, Rinai pulang bun. Rinai pulang untuk memperbaiki keadaan. Maafkan Rinai yang sempat tidak bertanggung jawab ini Bun."

Rinai tak peduli seberapa derasnya hujan yang mulai membanjiri area TPU.

Ia benar-benar larut dalam tangisnya. Padahal, air mata tidak akan bisa memperbaiki keadaan. Malah, membuatnya terlihat semakin buruk.

"Bunda, Rinai harus mulai dari mana? Apa Rinai harus menemui Hujan dulu untuk menjelaskan semuanya?"

Air matanya tetap mengalir. Sampai tiba-tiba, sebuah payung sudah terkembang di atas kepalanya.

Rinai terdiam ketika melihat siapa yang melakukan hal itu padanya. Wajah orang itu mendatar. Dengan baju yang basah kuyup.

"Berhenti bersikap bodoh Nai!" Tegas orang itu.

"Gue lagi sedih." Keluh Rinai.

"Lo harus bangkit, buat nyelesein semuanya. Jangan terpuruk gini!"

"Lagi proses." Kepalanya menunduk lesu.

"Gue mohon jumpain Hujan. Sebelum dia makin banyak salah paham sama Lo." Orang itu membuat Rinai berdiri.

Rinai tersenyum simpul. Lalu memeluk orang di hadapannya.

"Dan, gue harap Lo selalu dukung gue. Seburuk apapun gue di mata Hujan."

Orang itu membalas pelukan Rinai.

* * *

Hujan yang semakin deras menarik jiwa Hujan Rinjani untuk masuk ke dalamnya.

Hampir saja ia membasahkan badannya, handphonenya mengerang menandakan notifikasi pesan masuk.

Mas Dewa
"Jangan mandi hujan. Istirahat aja dulu."

Dewa seakan tau niat Hujan Rinjani.

Mbak Hujan
"Hampir aja."

Balas Hujan Rinjani singkat. Tak menunggu lama, Dewa langsung menjawab pesan Hujan Rinjani.

Mas Dewa
"Cukup aku aja yang kehujanan, kamu jangan dulu."

Hujan Rinjani tersenyum melihat balasan Dewa. Lalu menutup pintu rumahnya agar ia tidak tergoda untuk mandi hujan.

Akhirnya ia memilih untuk melakukan adat ala keluarganya. Yakni dengan larut mendengarkan betapa tenangnya suara deras hujan.

Membuatnya lupa, banyak hal tentang dunianya. Bahkan tentang Dewa.

Padahal mungkin, sebentar lagi masalah besar akan segera menerpanya. Entahlah, seberapa banyak sisa kekuatan yang ia miliki.
( Spoiler ya)

* * *

Hai hai hai.

Bagaimana bagaimana? Kalian masih stay safe kan?

Stay tune ya. Di muschipapad.

Ily💚💚💚

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang