8

61 32 0
                                    

Okay geez Kembali lagi dengan author comel ya.

Gimana gimana, masih punya minat buat lanjut ga?

Aku kalo mikir2 kedepannya suka ketawa2 sendiri tau, hehe.

Selamat baca.

*

"Masih betah aja lonya tinggal sendiri." Shofi merebahkan dirinya di tilam empuk milik Hujan Rinjani.

"Mau digimanain pun, pada akhirnya gue ditakdirkan sendiri." Hujan Rinjani duduk di tepian tilam sembari meneguk segelas air bening yang ia bawa dari dapur.

"Adora Shofiya kan masih ada Jan. Sekarang juga hidup Lo lebih indah karena kak Dewa and friends."

"Tapi, gue juga butuh rumah dengan keluarga kecil yang walaupun tanpa kepala keluarga tetap bahagia." Huh, hanya sesederhana itu inginmu Hujan Rinjani.

" Lo gak mau coba cari Rinai?"

"Perasaan Lo gak pernah absen nanya soal ini deh Sop."

"Ya, kalau Lo mau, gue kan bisa bantu. Dan sekarang ada banyak orang-orang di sekitar Lo yang bakal bantu juga kan? Jadi, Lo jangan ngerasa susah sendiri."

"Makasih deh ya Sop. Untuk saat ini, semesta tidak mengambil apa apa yang udah buat gue nyaman aja, udah lebih dari cukup."

"Hmmmm." Shofi mebalikkan badan rebahannya membelakangi Hujan Rinjani.

Masih terlalu sulit bagi Shofi untuk membujuk Hujan Rinjani soal, Rinai.

Dengan Hujan Rinjani yang mau menerima kehadiran orang lain aja, syukur hamdalah. Liat aja nanti, semuanya sudah diatur semesta.

Hujan Rinjani tinggal menjalani saja.

"Jan, kalo suatu hari Lo menyesali langkah yang udah Lo ambil ini, Lo jangan pernah berfikir untuk menghilang ya. Karena gue selalu menerima kepulangan Lo. Kapanpun, di manapun. Walaupun kalau ujung-ujungnya Lo bakal lupain gue."

Shofi, kasihmu sudah menggantikan kekurang asupan Hujan Rinjani selama ini.

"Jujur, ini memang terlalu cepat Sop. Baru semester pertama ngampus, gue udah harus kenal banyak orang. Tapi, yang terpenting, dari lama Lo yang selalu ada buat gue. Lo yang gak pernah ninggalin gue. Jadi, Lo lebih berharga dari apapun, bahkan dari Rinai."

Shofi tak merespon. Hujan Rinjani membalikkan badan Shofi. Ternyata dia sudah tertidur pulas dan mendengkur :v.

"Emang, nih anak satu." Hujan Rinjani mencubit lengan Shofi, tapi tetap nihil tanpa respon. Mungkin Shofi benar sedang tertidur.

Drttttt drtttt

Telepon milik Hujan Rinjani mengerang di balik dengkuran Shofi.

Dayen is called...

Nama yang muncul di screen nya. Hujan Rinjani mengangkat panggilan tersebut.

"Jan, Lo di mana?" suara panik Dayen menghiasi angkatan pertama.

"Rumah, kenapa?" herannya.

"Ke kampus sekarang, gawat darurat!!!!" sesak Dayen, dengan kepanikan yang semakin tidak terkendali.

"Ini udah kesorean Yen, males ah."

"Kalo ga buru, mungkin Dewa ga akan hidup lagi Jan."

"Ini konten prank yang kaya gimana?" Ya ampun Jan.

"Gue serius, Dewa got accident! Please.." kali Dayen sedikit menangis.

Deg, ada dentuman keras di hati Hujan Rinjani. Entah dari mana datangnya, yang jelas, Dayen tak mungkin berbohong soal nyawa.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang