26

42 27 1
                                    


Hai haiii selamat datang di part pertama setelah half part ya wkwk, aamiin.

Okay, aku rasanya mau cepat-cepat selesain Hujan Rinjani, supaya yaaa ga gimana-gimana sih. Kalau sesama penulis ya kita pasti tahukan kenapa sebuah calon novel harus selesai.

Stay tune ya. Terima kasih buat yang udah dan masih dukung aku sampai saat ini.

Ily more gais <3

*

Dalam pikiran yang mendalam, kita bisa menemui sebuah dunia yang isinya random dari kehidupan pada umumnya.

Ada perasaan bahagia yang sampai senyum manis terpoles ketika merasakannya.

Ada juga ketakutan yang membuat bulu kuduk meremang ketika ditimpanya.

"Rinai..."

Panggilan itu menembus gendang telinga Rinai, hangat.

Sontak saja ia terbangun, karena ia hafal sekali dengan gelombang suara yang sudah lama tidak pernah ia dengar lagi.

"Nak, letak pertanggungjawaban bukan hanya karena kita mampu menghidupi seseorang dengan cukup atau lebihnya materi."

Usapan halus di kepalanya membuat mata Rinai tak tertahankan untuk terharu, hampir saja menangis.

Dalam alam bawah sadar ini, keberadaan Bunda terasa kental nuansanya. Dan pikirannya jernih sekali menerima semua wejangan Bunda.

"Tapi, juga karena kita terampil mengokohkan ikatan antar satu sama lain."

"Materi hanya memperdaya, tapi cinta sesama saudara bisa mengantarkan kita bersama pada perkumpulan dengan-Nya."

Sudahlah, Rinai memeluk Bunda dengan sangat erat.

Terlalu nyata untuk ia sadari bahwa apa yang terjadi ini akan selesai ketika dia terbangun.

"Bunda sayang sama anak-anak Bunda." final Bunda.

Benar saja, saat keberadaan Bunda semakin terasa nyata, alam membuatnya terbangun dengan terkejut.

Bunyi petir menggelegar membelah langit.

"Bunda..." teriak Rinai dengan suara paraunya.

Dan pada kondisi seperti ini, air mata tidak lagi punya alasan untuk terbendung.

Hujan menderas, sebagai jawaban langit atas pembukaan petir tadi. Air mata Rinai luruh bersama hujan.

* * *

"Tiketnya mas, mbak." ucap kondektur bus pagi ini.

Dari pagi-pagi sebelumnya, pagi ini lebih terlihat berbeda karena kondektur yang berbeda.

Biasanya, seorang abang-abang bermuka sangar tapi sangat ramah yang bertugas memegang tiket.

Hujan Rinjani hafal sekali dengan abang-abang berseragam Transyogya, yang sama gagalnya dengan ia dan Dewa sebagai pelanggan tetap Transyogya.

Dewa membangun komunikasinya dengan kondektur bus berhijab, dan sedikit bertubuh gempal itu.

"Delapan ribu ya mas." final kakak kondektur lalu meraih uang sepuluh ribu yang sudah Dewa sodorkan.

"Wa, abang-abang yang biasa udah ganti aja ya." bisik Hujan Rinjani saat kakak kondektur sudah berlalu.

"Kenapa? Sepi ya, Jan, karena gak ada yang siulin kita setiap kali masuk." tukas Dewa.

Hujan Rinjani tertawa lumayan keras, karena ia teringat kejahilan abang kondektur setiap kali ia dan Dewa memasuki bus. Dan tawanya membuat seluruh penumpang menoleh ke arahnya.

"Ssstt gak boleh berisik, Jan." peringat Dewa.

Hujan Rinjani tetap terpaku dengan tangannya yang membekap mulut sendiri. Pun para penumpang sudah tak lagi menjadikannya pusat perhatian.

"Besok aku beli bus yang isinya cuma kita berdua ya, Jan. Jadi, kamu bisa sepuasnya melakukan apapun." ucap Dewa sebelum akhirnya bus sampai di tujuan mereka.

Hujan Rinjani meninju dada Dewa pelan. Lalu bangkit karena mereka sudah sampai di kampus tercinta.

Selain Hujan Rinjani dan Dewa, ada juga beberapa penumpang yang turut turun di pemberhentian halte UGM.

Satu di antaranya, adalah seseorang berhoodie hijau lumut dengan rok katun lipit yang warnanya seiras dengan hoodie yang ia pakai.

Seseorang tersebut turun paling akhir, lebih tepatnya, saat Hujan Rinjani dan Dewa sudah duluan memasuki pelataran kampus.

Saat langkahnya semakin dekat dengan gerbang UGM, ia melepaskan masker hitam yang sebenarnya menyesakkan nafas. Dan ia sekalian melepas penutup hoodie yang masih terpasang di kepalanya.

Tapi ternyata, ia sedikit ceroboh dalam mengambil langkah cepat.

Saat langkah berikutnya akan mulai memasuki pelataran kampus, seseorang menghentikan pergerakannya. Membuat ia berbalik badan.

"Jan, lo ganti..." Seseorang di hadapannya tiba-tiba bermuka aneh.

"Shofi." gumam yang berhoodie hijau lumut.

Shofi memegang bahu orang di hadapannya dengan penuh keterkejutan. Matanya membelok tak percaya.

"Rinai?! lo masih hidup?!." ucap Shofi serius.

Rinai membekap mulut Shofi, lalu menarik tangan Shofi untuk mencari tempat duduk. Agar, Rinai bisa menceritakan sekaligus menjelaskan apa yang terjadi.

Ternyata, saat Rinai sudah duduk bersama Shofi, Rinai malah mendapati Shofi sudah menangis tergugu.

Rinai merasa bersalah dibuatnya.

"Kenapa telat banget datangnya, Nai." ucap Shofi dengan suara yang mulai parau.

Shofi menggenggam kedua tangan Rinai.

"Maaf banget Sop. Ada banyak pertimbangan yang harus gue pikirin sebelum pulang." jelas Rinai.

"Tapi makasih banyak, lo udah mau dampingi Hujan sampai sejauh ini." tambah Rinai.

"Karena kalian itu keluarga gue." ucap Shofi dengan nada yang merendah.

"Nah, makanya gue berterima kasih Sop. Lo masih mau menganggap gue keluarga di atas dosa-dosa gue ini." balas Rinai.

"Hujan udah tau?" tanya Shofi beralih menghentikan tangisnya lalu menyapu sesuatu yang meler di hidungnya.

Rinai menggeleng pelan. Melihat itu, Shofi memegang bahu Rinai kembali.

"Pulang ke Hujan secepatnya, Rinai!" tegas Shofi.

"Iya, gue pasti pulang Sop. Tapi, gue harus pulang di waktu yang sangat tepat. Dan gue mohon, selagi gue menunggu moment, lo jangan kasih tau Hujan dulu soal ini." ucap Rinai begitu memohon pada Shofi.

"Terus, gue harus berbohong sama Hujan gitu?" tanya Shofi.

"Selama dia gak nanya, dan lo gak buat dia curiga, semua masih terkendali, Sop." jelas Rinai.

"Oke, tapi, kalau dalam waktu dekat lo gak juga selesaikan semuanya, gue gak yakin bisa terus menjaga rahasia besar ini." peringat Shofi.

Rinai mengangguk paham.

Setelah melanjutkan perbincangan ke banyak hal lain, Shofi duluan pamit undur diri, karena ia sudah meninggalkan kelas cukup lama.

Dan, dalam hal ini, Rinai seakan dituntut untuk sangat gencar.

Padahal, Rinai sedang memperhitungkan semua hal. Dan ia yakin, ia akan menuntaskan semua ini sebagai wujud pengampunan baginya.

* * *

Kan, kenapa ya semesta malah menambah daftar orang-orang yang berbohong pada Hujan Rinjani?

Btw, kalau dibohongi itu sakit banget ya?

Wkwkwkwkw, stay tune ya, aku bakal bongkar semuanya secepatnya mungkin.

Thank you gais, aku sayang kalian.

Salam hangat dari author comel 💚

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang