28

48 17 6
                                    


Dannn hai >.<

Akhirnya, berkat do'a para siders yang kayanya paling kencang, aku bisa sesegara mungkin nyelesain part 28 yang entah bakal gimana menurut kalian.

Keycippp, yang penting sehat selalu dan jangan lupa adab <3

(Bisik-bisik ke sahabat yang lainnya ya, ayang-ayang)

*

/Hujan, jangan marah (pt.2)/

Cerita di bus hari ini, tidak sesuai dengan ekspektasi yang sempat Hujan Rinjani bayangkan.

Selain karena ia masih terkukung rasa bersalah pada Garaa, ia juga sebal dengan Dewa.

Karena, bagaimana bisa?! Di weekend yang harusnya menyenangkan ini, Dewa malah tidak menjemputnya sama sekali.

Bahkan menyuruhnya berangkat sendiri sampai ke halte UGM. Dan nanti, Dewa akan menjemput Hujan Rinjani dari sana.

"Hai mbak Hujan, ini tiketnya toh mbak."

Hujan Rinjani mendongakkan kepalanya. Betapa senangnya ia ketika mendengar suara kondektur yang sudah lama tidak ia dengar.

"Eh mas. Terima kasih." ucap Hujan Rinjani.

"Saya nungguin hari ini, supaya bisa ketemu dengan mbak dan mas Dewa."

"Entah kenapa saya feeling kalau mbak akan naik hari ini. Dan seperti feeling saya juga, kalau mas Dewa sedang tidak bersama mbak Hujan."

Hujan Rinjani tertawa kecil. Kondektur satu ini benar-benar lucu kala menjelaskan banyak hal dengan air mukanya yang datar.

Mungkin, bagi beberapa orang yang belum mengenalnya akan mengira bahwa ia adalah kondetur ter tak ramah se-Yogya.

Padahal, mas-mas ini, seperti seorang pendongeng yang piawai.

"Kemarin-kemarin ke mana aja mas?" tanya Hujan Rinjani sedikit memotong pembicaraan kondektur yang masih membahas feeling ini, feeling itu.

"Ooohhh, saya ngisi pelatihan buat anak-anak baru toh mbak."

GDRUKKK

Bus sedikit berguncang, karena beralih dari jalan umum ke jalur bus.

"Eh copottt toh." refleks mas kondektur.

Hujan Rinjani tertawa bukan main. Semakin lucu lagi, kalau ternyata refleks mas datar ini sampai segitunya.

Setelah Bus mulai kondusif, mas kondektur memperbaiki seragamnya.

"Mbak turun di sini?"

"Iya mas." jawab Hujan Rinjani yang mulai bangkit.

Karena ini weekend, Hujan Rinjani tak perlu berdesakan untuk turun di halte UGM.

Pintu bus terbuka, menampakkan wajah Dewa yang tersenyum sumringah.

"Mas Dewa..." seru kondektur yang lebih dulu menyadari keberadaan Dewa daripada Hujan Rinjani.

"Eh mass, sudah kembali bekerja toh..." Dewa mengikuti gaya khas bicara sang kondektur.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang