13

58 29 3
                                    

Hai hai halloyaa, udah lama gak up, bener deh, kangen juga kadang gaiz.

Oke, jangan lupa adab ya, aku butuh, dan aku minta.

Pencet bintang ga mahal kok nggak.

Selamat baca~

*

Sial, umpat Hujan Rinjani dalam hati.

Padahal baru saja dia merasa jiwa keponya akan terobati, tapi Garaa malah menjebaknya.

Ingin rasanya berkata kasar. "Kasar", hehe.

Hujan Rinjani sibuk dengan dumelan dumelannya tentang Garaa. Lalu, pintu ruangan terbuka, menampakkan wujud dingin seorang Garaa Ardianto. Dengan dua cup minuman di tangannya. Lalu, dia kembali pada posisi duduknya di samping Hujan Rinjani.

"Nih... Gue aja yang bayar." tukasnya sambil menyerahkan sebuah cup pada Hujan Rinjani. Hujan Rinjani tak bisa menolak, karena cup tersebut sudah tersodor untuknya.

"Sok baik." sebal Hujan Rinjani.

"Hitung aja sedekah kali kedua." goda Garaa.

Sial, umpat Hujan Rinjani dalam hati sekali lagi. Hujan Rinjani lantas menyeruput cup yang berperisa greean tea latte tersebut, tapi wajah sebalnya tetap tak bisa ditahan.

"Genawa itu mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan." Garaa buka suara. Hujan Rinjani terdiam, sekaligus menyimak Garaa.

"Tapi, ya gitu, Gue gak ditakdirkan bersama dia di dunia, suatu saat yang lebih indah, mungkin." lanjut Garaa.

"Besok Genawa ulang tahun, Ibunya minta gue buat beli Bunga. Ibu suka banget bunga."

Hujan Rinjani tetap menyimak dengan kebungkamannya.

"Menurut Lo, salah gak, kalau gue gak buka hati buat orang lain? Walaupun Genawa udah gak ada, tapi gue menjadi harta yang tersisa buat Ibu dan Ayahnya."

Salah Gar, salah. Anda bertanya pada orang yang salah. Hujan Rinjani tak pernah punya pengalaman dalam hubungan dua jiwa yang bersatu, dan perasaan jatuh cinta baru kali ini dirasakannya, meski belum sepenuhnya sadar.

"Jan......" Garaa bingung, dengan kebungkaman Hujan Rinjani.

"Gu... Gue... Gak tau.." Hujan Rinjani tergagap.

Garaa tertawa kecil. Dia tahu, bukan Hujan Rinjani tempat yang tepat untuk bertanya soal hal tersebut. Dia hanya mencoba mengeluarkan jati diri Hujan Rinjani yang sebenarnya.

Pintu ruangan terbuka, lagi.
Kali ini, raut lesu Dewa yang tampak.
Dalam hatinya, Hujan Rinjani tersenyum melihat kedatangan Dewa.

Dewa segera mengambil posisi di sebelah kiri Hujan Rinjani.
(Yak, ini take nya diapit dua most wanted university...^^)

"Jan.... Aku mutarin kampus nyari kamu, taunya ada di sini." keluh Dewa.

"Kaya anak kecil." datar Hujan Rinjani. Ya, Hujan Rinjani sangat pandai menyembunyikan rasanya. (Gengsi tingkat kiamat, biasa^^)

Garaa mengambil ponselnya, lalu berlagak mengotak-atik ponselnya.

"Gar, Lo gak ada kelas lagi apa?" tanya Dewa.

"Dosen gak masuk, free tugas." datar Garaa.

"Hmmm" respon Dewa.

"Kamu Jan?" alih Dewa pada Hujan Rinjani.

"Ada," Hujan Rinjani mengangkat bokongnya untuk segera keluar dari ruangan, karena dia baru menyadari kelas selanjutnya akan dimulai sebentar lagi.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang