12

62 28 10
                                    

Hai hai Kembali hai.

Buat kalian kalian yang masih menunggu kisah ini, percayalah, tidak rugi.

Kita harus mengarungi bahtera kehidupan, untuk tahu bagaimana bumi ini akan dijalani kedepannya yayayayayay.

*

Sinar lembut mentari pagi, menyapa Hujan Rinjani untuk segera bangkit dari tidurnya.

Hujan Rinjani mencoba duduk, memaksa badan kelelahannya untuk lebih kuat.

Sisa hujan tadi malam masih menemani paginya. Lalu membuat dia teringat pada sesuatu, seseorang tepatnya, yang hilang saat dia sudah sampai pada gerbang mimpi.

"Dewa...." gumamnya.

Kemana lelaki itu? Kenapa hilang seperti mimpi indahnya? Huh, mimpi yang sangat indah karena bertemu dengan Dewa padahal.

Hujan Rinjani beranjak dari tilamnya. Dahaga yang menyiksa lebih ingin dituruti dari pada pikirannya tentang Dewa.

Baru saja sampai di dapur.
Hujan Rinjani melihat segelas air putih dengan stick note berwarna hijau di atasnya.

"Jan, aku pulang. Besok aku kembali, oke?. Nanti, ketika kamu haus, minum air yang sudah kusediakan ini. Kamu sudah membuang banyak tenaga karna hujan tadi malam."

- Mas Qausar, Dewa Alammu              

Hujan Rinjani tersenyum kecil.
Ternyata, ada yang lebih indah dari mimpi bertemu Dewa, yaitu, memilikinya.

Eh, ngaco aja Jan, Dewa milik semesta, batin Hujan Rinjani.

Dia duduk, lalu meneguk sejuknya air itu. Kerongkongannya melega.

Hujan Rinjani melirik waktu pada handphone nya.

7.27 WIB

Masih ada setengah jam sebelum berangkat ke kampus. Tapi, dia tak mau langsung bersiap.

Setelah air pada gelas yang tengah digenggamnya itu habis, dia tak berhenti mengulang membaca stick note dari Dewa.

Mungkin, Dewa adalah jawaban dari pertanyaan "kapan aku jatuh cinta?" Batinnya dengan senyum yang masih sama, ditambah sedikit bumbu tersipu.

Ini hari penuh bahasa batin ya:), yaudah, biarin aja,

Kadang, bahasa batin lebih memperjelas banyak hal.

* * *

Bus Transjogja rute 1B itu, telah berlabuh di haltenya.

Orang-orang berebutan keluar, serasa hari ini hanya miliknya.

Hujan Rinjani lebih memilih untuk menunggu para penumpang yang sangat tidak sabaran tersebut.

Daripada harus berimpitan, lebih baik menanti kelenggangan.

Ketika sepatu kets coklat buluk milik Hujan Rinjani itu baru saja menapaki halte, Hujan Rinjani menghentikan langkahnya, mengernyitkan dahinya heran, karena melihat penampakan yang ada di hadapannya.

"Kenapa di sini?" tanya Hujan Rinjani memecah keheningan pada putaran waktu.

"Gak tau, ada yang nuntun. Katanya, akan ada malaikat yang keluar dari bus."

Dewa, pak presiden yang mencoba mempresideni hati Hujan Rinjani.

"Malaikat maut." datar Hujan Rinjani, lalu berlalu, melanjutkan langkahnya meninggalkan Dewa.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang