15

43 28 6
                                    

Nungguin gak?

Cie enggak -_-

Selamat baca.

*

"Gue mau jadi tempat Lo berbagi luka Jan." Nada bicaranya menenangkan. Wajahnya bersembunyi di balik handuk yang tengah mengeringkan bekas-bekas Hujan.

Hujan Rinjani menatap lawan bicaranya yang tak ada pergerakan sedikitpun.

Kalaulah yang berada di posisi garaa itu Adora Shofiya, pasti lebih mudah bagi Hujan Rinjani untuk menceritakan sesaknya.

Lebih tidak mungkin lagi. Kalaulah yang sedang berhadapan dengannya itu seorang Rinai Rinjani, mungkin ia akan dengan senang hati berbagi tangis, luka, dan semua kesedihannya. Sampai ia lupa, bahwa segala tentang Rinai sudah ia kubur dalam-dalam.

Tiba-tiba ia teringat pada Dewa. Mungkin akan lebih ceria bila Dewa yang ada di hadapannya. Tapi, masalahnya bukan ketiga orang itu yang saat ini ada di hadapannya.

Melainkan si batu es, Garaa yang ada di sana. Mahluk yang pernah punya kisah pilu yang hampir serupa dengannya.

"Boleh gak, kalau suatu saat gue butuh Lo, Lo tetap bisa diandalin?" Hujan Rinjani melontarkan sembarang kalimat dalam kepalanya, agar gara tidak berlarut-larut dalam keegoisannya.

Garaa mengangguk, lalu beranjak dari duduknya.
"Karena Lo udah aman, gue balik." Pamit Garaa, melenggang keluar.

Hujan Rinjani tetap di tempatnya tanpa bergeming. Bahkan untuk sekedar memberikan do'a keselamatan saja dia tidak lakukan.

Matanya mulai berkedip-kedip menahan kantuk, tapi hatinya lebih membutuhkan istirahat.

21.48 WIB

Sop iga suga
"Maaf ya Jan, baru chat. Tadi gue ketiduran. Gimana? Lo aman-aman aja kan?"

Hujan Rinjani tersenyum melihat pesan masuk dari Shofi.

Hujan Rinjani
"I'm ok."

Balasnya singkat. Lalu mengambil posisi nyaman dan segera terlelap.

* * *

Setiap manusia, punya naluri pembingung yang bisa terbit kapan saja.

Bisa jadi, bingung sebab tak puas. Teka-teki sudah terjawab, tapi masih saja bingung dengan jawaban yang sudah jelas terpapar.

Mengapa begitu?
Apakah itu pertanda bahwa akan ada teka-teki lainnya?
Jika begitu, mari terus menjadi pencari yang tak kenal henti.

Sampai waktu benar-benar menghentikan segalanya.

"Jan!!" Shofi memeluk Hujan Rinjani dari belakang dengan sangat antusias .

"Eh, Sop." Hujan Rinjani terlihat biasa saja dengan wajah datarnya.

"Sumpah jantung Lo gak dag dig dug sedikitpun Jan?"

"Apaan sih! Masih pagi udah ga jelas Lo!" Sarkas Hujan Rinjani.

"Yah, padahal gue pikir, gue udah punya tempat dan saat yang tepat buat ngagetin Lo, Jan." Keluh Shofi atas ketidak berhasilannya.

"Eh iya, jantung Lo kan dag dig dug nya udah buat kak Dewa aja." Tambahnya.

"Uhuk.... uhuk...." Hujan Rinjani terbatuk, tersedak napas sendiri.

"Cie.... Blushing." Goda Shofi.

"Blushing apaan mata Lo picek!" Sebal Hujan Rinjani.

"Astaga, makin ke sini, bukannya makin lembut Lo Bambang!"

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang