10

56 30 2
                                    

Hai hai hai, kembali lagi dengan author comel  dan cerita hujannya.

Kuharap kalian tetap ingin melanjutkan membacanya ya, karna bakalan ada bom entah di part mana nanti:)

Jangan lupa adab sebelum ataupun sesudah membaca ya geez:).

Salam hangat dari bumi hangatku.

*

2 Minggu lalu, menjadi minggu-minggu yang menyiksa Hujan Rinjani, karena harus mengurusi seorang presiden yang ketika sakit seperti anak baru lahir.
"Maunya, di dekat mama."
Tapi presiden manja itu, memaksa Hujan Rinjani menduduki posisi itu.

"Udah ketemu berapa banyak orang, selama Dewa sakit?" Dayen memancing Hujan Rinjani untuk bercerita tentang pengalaman merawat Dewa.

Anak-anak yang lain tampak bersiap-siap mendengarkan cerita bernada dingin dari mulut Hujan Rinjani.
Kecuali, Garaa, batu es berjalan yang sibuk mengotak-atik ponselnya di barisan paling belakang.

"Ya, banyak banget, ga tau deh siapa aja, soalnya ga ada yang mau ngenalin diri."

"Yang ada gue dikasih tatapan-tatapan elang dari semua yang datang, terutama fans-fansnya ni bocah!" Hujan Rinjani mengarahkan jari telunjuknya pada Dewa yang berada di hadapannya.

"Karena, orang pada ngira Lo ibu negaranya Jan, dari Dewa bangun tidur, sampai tidur lagi Lo yang rawat." ucap Gemilang.

Gemilang memang sangat senang menggoda Hujan Rinjani. Malah ia bertekad, akan terus menggoda Hujan Rinjani, sampai rona merah udang rebus menghiasi wajahnya.

Sayangnya, sampai detik ini rona itu belum sekalipun ia dapatkan.

Padahal, jika ditanya jantung Hujan Rinjani, seperti ingin meninggalkan tempatnya.

"Huh," Hujan Rinjani melongos, sebenarnya, hanya untuk menstabilkan detak jantungnya.

"Sebenarnya, kalian ada butuh apa sama gue? Udah sebulan lebih gue terjerat dengan ruangan ini. Tak lupa, dengan makhluk-mahluk menyebalkannya. Tapi, gue masih gak jelas statusnya." Hujan Rinjani memutar bola matanya.

"Apa yang gak jelas Jan? Status Lo ibu negara dari presiden kami." celetuk Abizard dengan senyum yang membuat matanya hanya tampak segaris.

"Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha."
Tawa pecah memenuhi ruangan.

Dewa juga tertawa dengan riangnya, tanpa tahu bahwa kepalan tangan Hujan Rinjani sudah bersembunyi di balik tatapan mautnya untuk Dewa.

"Semuanya!"

Suara lantang nan dingin itu menghentikan kegiatan tertawa dalam ruangan. Seketika, pandangan semua orang tertoleh ke belakang, termasuk pandangan Hujan Rinjani.

"Gue cabut duluan. Nyokapnya Genawa minta dibeliin bunga." tukas Garaa, lalu beranjak.

Semua yang berada di dalam mengangguk dengan "hmmm" sebagai tanda setuju.

Sepeninggal Garaa, ruangan menghening. Tidak ada lagi topik yang patut dibicarakan. Hujan Rinjani juga sibuk dengan isi kepalanya sendiri.

"Oke, its time to go home, gaes" seru Thalla memecah hening.

"Gue balik nih ya, kan hari ini gak ada rapat penting ya kan?." Thalla meraih tasnya.

"Jan, balik sama gue yu?" tawar Thalla, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.

Hujan Rinjani mengangguk, lalu diikuti dengan yang lain yang juga bersiap-siap untuk pulang.

Kecuali Dewa, yang terpaku seorang diri.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang