22

41 28 3
                                    


Hai gais, Alhamdulillah banget aku lagi lancar-lancar dan semangat nya buat lanjutin hujannn.

Do'ain kisah ini sukses selalu ya <3, makasih loh buat yang stay tune meski siders. Aku tetap sayang :3

*

/Gudang rahasia itu ada di kehidupan. Karena hidup, isinya adalah rahasia-rahasia yang menunggu terbongkar. Misal : hari ini, satu rahasia dalam kisah Hujan Yang Tak Pernah Usai akan ketahuan, lagi./

Okay, kita akan bahas tentang hari ini. Ya, hari ini dalam dunia menyata Hujan Rinjani.

Hari ini, entahlah akan berlangsung pilu atau lebih parah lagi. Pastinya, satu pelajaran sedang bersiap-siap terbang menuju ruh Hujan Rinjani.

Bus dengan gerak pelannya sudah menandakan, ada sesuatu yang bakal terjadi ketika bus sudah sampai pada pemberhentiannya.

Dewa tak sebentarpun melepaskan rangkulannya. Karena ia, masih ingin membuat Hujan Rinjani mencerna makna mendung di matanya.

Hujan Rinjani hanya balas tatap. Meski otaknya tengah bekerja keras seakan ia tahu sesuatu menunggu di pemberhentian bus kali ini, tapi ia kesulitan menjabarkan isi pikirannya sendiri.

Bus perlahan berhenti.

Satu detik, satu menit.

Tidak ada penumpang yang berpotensi  akan meninggalkan bus. Kecuali, Dewa yang sudah merangkulnya, bangkit.

Belum lagi pintu bus terbuka.
Hujan Rinjani sudah hafal sekali dengan pemandangan sekitarnya.

Belum lagi tempat itu ia tapaki.
Bau Kamboja sudah menyeruak membuatnya terkungkung rasa sejenis, kangen.

Dewa menyiratkan senyum pilunya.

Patah-patah melangkah, melonggarkan rangkulannya menjadi pegangan pada bahu.

Hujan Rinjani, entah kenapa, berusaha menahan tangis. Padahal, baru saja mereka tiba di persimpangan pertama.

"Bunda..." Lirihnya.

Benar sekali. Kuharap kalian menjawab tebakan yang tepat.

Di sinilah, perkumpulan pusara orang-orang yang telah hengkang dari Bumi. Sudah siap  semua tugas mereka, karena itu mereka beralih alam.

Dan di sini juga ada, Bunda. Tempat kangen Hujan Rinjani merasa bertuan.
Meski dibayar oleh bau Kamboja tiap menyekar.

Tapi, tidak hanya Hujan Rinjani yang menahan sesak sedari memasuki tempat ini.

Bagai gemuruh yang tiba-tiba menyambar 1 meter dari jarak berdiri, Dewa menangis bergetar. Ada sesak yang susah payah ia tahan.

Sisi inilah.

Sisi inilah yang ia maksud dan sedang terjadi di hadapan Hujan Rinjani.

Bukan bermaksud menambah kesedihan Hujan Rinjani dengan melihatkan kerapuhannya.

Bahkan, Hujan Rinjani merasa seperti mendapatkan energi aneh. Dengan sigap memeluk Dewa dari samping.

Menyalurkan sisa kehangatan yang ia miliki dari tangis yang tak jadi menderas itu.

Semua orang terluka. Kehilangan baik jauh atau dekat, selamanya, sebentar, atau kembali meski tak bersama lagi tetap saja menyayat hati.

Tentang itu, bisa saja menjadi luka yang tak sembuh. Tapi, bukan dengan bermusuhan dengannya bisa meminta padanya untuk "jangan datang lagi luka!"

Coba peluk lukanya. Jangan peluk pakai anak pisau, nanti makin dalam birunya.

Tapi peluk hangat, sebagaimana Hujan Rinjani tengah memeluk Dewa saat ini.

Hujan yang tak pernah usai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang