Hari ini kami sudah sampai di Hindia-Belanda. Pappie sangat antusias, sangat kontras dengan Mammie yang selalu marah-marah sedari kami turun dari kapal, udaranya panas katanya, ya benar ini memang sangat panas, bajuku sampai basah karena keringat.
Aku berpindah posisi ke depan Pappie, dengan wajah yang memerah karena senang aku bertanya, "Pappie, apakah kita sudah punya rumah disini?"
"Kamu ini bodoh atau bagaimana? Tentu saja Pappiemu itu diberikan rumah, dia yang memilihkan rumahnya."
Mammie mengerutkan dahinya, tatapannya mengerikan, namun aku ingin menjahilinya, hihihi.
"Mammie sedaritadi rewel karena panas, pemandangannya membosankan, dan karena sedikit menemukan orang Belanda kan? Mari kita lihat, apakah di sekitar sini bayak menjual barang kesukaan Mammieku tersayang~?!"
Mammie terang-terangan menunjukkan ekspresi jijiknya, sedangkan Pappie menahan tawa.
(For your information:
1. perjalanan dari Belanda ke Hindia Belanda itu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sampai.
2. Di zaman ini yang menggunakan mobil sangat sedikit, karena harga mobil sangat mahal.)Kami pergi menggunakan mobil. Berbulan-bulan aku didalam kapal hanya melihat air, sekarang berjam-jam hanya melihat pepohonan, pasti nanti akan ada banyak hal yang menarik.
"Pappie, kita ada di kota mana?"
"Kita ada di kota ... Bandoeng. Kata orang-orang, kota ini sangat indah, disebut sebagai 'Paris nya Hindia-Belanda' atau juga 'Paris Van Java' udara disini sagat sejuk, lebih sejuk daripada Batavia. Sangat indah."
kata papa dengan wajah datar yang selalu menjadi ciri khasnya. Sepertinya Pappie juga telah lelah karena perjalanan panjang ini.
Mammie terus marah-marah,
"Kau serius mengajakku ke sini, hah?! Sangat panas! Kulitku akan terbakar nanti, bagaimana jika aku tidak cantik lagi? Aku tidak betah disini! Kau bisa saja membuatku berhenti ngomel, caranya kau harus membelikan aku gaun yang paling mewah dan juga perhiasan yang banyak!""Mammie, daripada membeli hal-hal semacam itu, lebih baik Mammie dan Pappie memberikan berkat untuk orang-orang sekitar. Jika Mammie tak mau memberikan kepada Pribumi, Mammie bisa berikan untuk Belanda miskin."
Aku sudah lelah mendengar bahwa Mammie sangat menginginkan perhiasan dan semua barang mewah, juga merengek ingin pulang seperti anak kecil. Apa kalian tahu rasanya jika setiap hari harus berada bersama orang yang hanya mencintai kekayaan dan harta di dunia? Yang isi otaknya hanya itu saja? Mari ku beritahu, itu sangat menjengkelkan.
"Diam kamu! Aku tidak mengajakmu bicara, dimana sopan santunmu? Percuma aku menyekolahkan kamu jika kamu saja tidak punya sopan santun seperti itu!" katanya sambil menunjuk-nunjuk ke arah ku.
Papa ikut angkat bicara "Ya, aku akan memberikan mu apapun yang kamu mau, tapi jangan rewel lagi ya, kau mau janji?"
Walau tak bisa membaca ekspresi wajah Pappie, namun aku tau bahwa dia juga sedikit kesal.
"Hm, baiklah!" katanya sambil mendengus kesal.
Mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah besar yang temboknya berwarna putih bersih, tak ada kotoran sedikitpun, ada pagar yang berwarna hitam. Mammie cepat-cepat masuk ke rumah itu. Saat Pappie hendak masuk, aku menahan tangannya.
"Pappie, kenapa di kompleks ini rumahnya bagus-bagus dan banyak orang Belanda yang berlalu lalang, tapi di depan kompleks kita ada rumah kecil, tak terawat dan banyak Pribumi? Apa masing-masing kompleks di khususkan mana yang untuk Londo dan mana yang untuk Pribumi, Pappie?"
"Kompleks ini ada beberapa untuk orang yang ditugaskan dari Belanda, dan ada beberapa yang hanya mau berkunjung ataupun tinggal disini tanpa ditugaskan dari Belanda. Memang benar, londo dengan pribumi dipisah. Padahal kompleks Pribumi dengan Londo jaraknya jauh sekali, terhalang oleh pepohonan rimbun, ternyata anak Pappie ini matanya jeli sekali ya, mirip seperti Mammie."
"Mammie tidak jeli matanya Pappie, bagaimana bisa mirip? Kenapa akhir-akhir ini Pappie sering bilang bahwa aku mirip Mammie? Padahal sikap kami seperti bumi dan langit."
Pappie terlihat kaget sekilas, dia buru-buru masuk meninggalkanku di depan pintu rumah bersama beberapa jongos yang mengangkut barang-barang kami. Kenapa Pappie begitu?
Saat masuk, ada banyak sekali Bedinde dan Jongos menyambut kami.
"Mereka adalah orang yang menjadi Jongos dan Bedinde di rumah kita." Pappie selalu mengatakan hal seperlunya, sangat hemat kata-kata.
"Baiklah. Aku tahu kalian sudah tahu siapa aku. Hans, aku mau ikut saja bersamamu, setelah ini kamu mau pergi kan?"
"Ya, kamu boleh ikut. Athanasia, bagaimana denganmu? Kamu mau?"
"Aku lebih memilih disini saja, aku mau melihat-lihat rumah."
Aku melemparkan senyum manis kearah Bedinde dan Jongos, lalu aku mulai memperhatikan sekitar.Di lantai satu, tempatku berdiri sekarang
ada tangga yang bentuknya melingkar, sofa, lukisan keluarga, kamar tamu, rak buku milik Pappie. Tunggu, rak buku milikku kemana?! Ah iya, aku kan tidak suka membaca buku hehe.
Ada ruang makan, dapur, dan toilet.Sekarang aku menaiki tangga menuju lantai atas, disana terdapat 6 kamar. Aku memasuki kamar-kamar itu. Kamar paling mewah adalah kamar Mammie, lalu kamar sebelahnya adalah kamar Pappie, sebelahnya lagi kamarku. 3 ruang kosong ada di depan kamar kami, entah kamar-kamar itu dipakai untuk apa.
Mammie dan Pappie selalu menggunakan kamar yang terpisah. Aku heran, padahal pasangan suami istri selalu tidur seranjang. Aku merasa ada banyak sekali rahasia disini. Hanya rahasia dan sedikit kebohongan.
Sedih sekali melihat para Bedinde dan Jongos ini, mereka terlalu kurus, seperti tidak memiliki lemak, bagaimana jika mereka kedinginan karenanya? Jika mereka memiliki maag, bagaimana cara mengatasinya? Tak jarang ku jumpai orang yang busung lapar, pakaian dari karung, dan rambut yang bau juga sangat tak terawat. Berbanding terbalik dengan orang-orang Belanda.
Aku tak membenci Belanda, aku juga tak menyanjung Pribumi, keduanya sama-sama manusia yang pasti bisa melakukan kejahatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Athanasia Van Bristen [TAMAT]
Historical FictionDi zaman penjajahan Belanda, punya Mammie dan Pappie tentara, juga tinggal bersama keluarga tiri kira-kira seru? Nggak tuh! [Inspirasi dari Dimas Van Dijk karya Risa Saraswati]