Pertemuan Pertama

427 57 9
                                    


Saat aku sedang berjalan-jalan di sekitar kompleks, aku melihat ada segerombolan anak laki-laki yang membentuk lingkaran; mereka tertawa, meneriaki seseorang dengan kata-kata kasar, mereka Londo dan menggunakan bahasa Belanda.

Jujur aku belum bisa berbahasa Melayu, aku belum memiliki kesempatan untuk belajar bahasa itu.

Aku segera menghampiri mereka, kumpulan laki-laki yang terlihat seumuran denganku. Tampan hihihi.

"Hey, ada apa sampai kalian sesenang ini?" tanyaku dengan santai, lebih tepatnya mencoba untuk santai sambil tersenyum seramah-ramahnya.

"Kami sedang membully orang - "

"Kenapa? Kenapa kalian membully dia?"

"Karena namanya, hahaha namanya sama seperti jongos dirumah ku, namanya adalah Fajar! Hahaha, namanya seperti seorang inlander! Sudah begitu susah sekali menyebutkan namanya, huruf dia j bukan dibaca y tapi jyeh. Dibaca menggunakan pelafalan orang sana!"

"Hah? Hanya karena nama? Pepatah mengatakan 'Apalah arti sebuah nama' kan?"

Aku langsung menarik tangan laki-laki yang aku ketahui namanya adalah Fajar, aku menuntunnya untuk duduk di taman dekat sana, aku melihat banyak sekali luka di tubuhnya. Dia diam sambil menundukkan wajahnya.

"Selama ini kamu dibully tapi kamu diam saja, Fajar? Sejujurnya namamu sulit untuk diucapkan, tetapi mudah diingat, aku menyukainya!" Dia menatapku dengan tatapan yang sulit si artikan, seolah baru pertama kali dia diperlakukan seperti ini.

"Aku hanya bisa menjalaninya, temanku hanyalah pribumi, keluargaku dimusuhi karena namaku. Aku tidak ingin jadi tambah dibenci."

"Kamu beruntung! Tak banyak orang Belanda yang bisa berteman dengan Pribumi. Aku saja tadi ingin mendekati beberapa babu di rumah sangat sulit. Hey, kepalamu seperti ingin jatuh saja, angkat kepalamu dan tataplah mataku."

Dia mengangkat wajahnya dengan pelan. Aku melihatnya. Melihat matanya yang berwarna coklat. "Indah sekali matanya." gumamku, sepertinya dia mendengar.

"Kamu tinggal di sekitar sini? Ayo, aku antar kamu sampai ke rumahmu." lalu dia menggeleng tanda tidak setuju.

"Kenapa? Kamu tidak mau? Tidak papa, aku antar kamu, jangan sungkan."

Jalan demi jalan kami lewati, beberapa kali dia meringis kesakitan. Kami sekarang berada tepat didepan rumahnya, yang ternyata itu adalah tetangga sebelah rumahku persis. Aku mengetuk pintu rumah itu, lalu seseorang pribumi membukakan pintu, lalu mempersilakan aku dengan Fajar masuk ke rumah itu.

Ada wanita paruh baya yang keluar dari sebuah ruangan, aku tebak itu adalah kamarnya, lalu ada perempuan yang umurnya tidak jauh beda dengan umurku yang sedang membaca buku, wajahnya terlihat judes. Aada laki-laki paruh baya yang duduk sambil membaca media cetak, saat Fajar berdehem, bereka baru menyadari keberadaan kami.

"Astaga sayang, kamu seperti ini lagi?" kata wanita paruh baya itu seraya memeluk Fajar, lalu perempuan yang sepertinya sebaya denganku langsung  melemparkan kata-kata dan tatapan tajam nya ke aku.

"Apa kamu penyebabnya?"

Fajar melepas pelukan wanita paruh baya itu, lalu menghadap perempuan yang mengeluarkan kata-kata dan tatapan tajamnya kearah ku.

"Tidak Anna, dia menyelamatkan aku, dia membelaku dihadapan banyak orang."

"Ah, begitukah? Terimakasih, dan aku minta maaf telah menuduhmu." kata Anna.

'Oh, jadi dia namanya Anna'

kataku dalam hati, lalu perempuan paruh baya itu memelukku.

"Terimakasih ya telah melindungi Fajar, aku adalah Mammienya, namaku adalah Nina van dijk, dia adalah suamiku, William van dijk. Sekali lagi terimakasih ya? Siapa namamu? Kamu baru pindah kesini?" whoa, pertanyaan yang banyak. Aku senang dengan nada bicaranya, seperti berbicara dengan anak kecil.

"Sama-sama, namaku adalah Athanasia, aku baru pindah kesini."

"Lalu, nama belakang mu?" tanya Tuan William dengan wajah serius.

"Um, aku, hmmm, bagaimana ya? apakah itu penting?"

"Ya."

"Umm, aku, Argh, bisakah kalian janji dulu, setelah mengetahui nama belakangku, kalian jangan sungkan?"

Semua nya membalas dengan anggukan kecil. Argh, aku benar benar frustasi.

"Athanasia Van B...."

"Apa? Aku tidak dengar, Athanasia Van siapa?" Tanya Nyonya Nina, aku memang sengaja memelankan suaraku di akhir kalimat, berharap mereka mengabaikannya saja, tapi nyatanya tidak.

"Athanasia Van Bristen."

Semuanya kaget, lalu setelah itu situasi menjadi canggung, benar-benar seperti dugaanku, aku benci situasi ini, dan janji yang tidak ditepati.

"Umm, kan aku sudah bilang, dan kalian sudah janji, jangan seperti ini. Sebenarnya aku benci mengungkapkan nama belakangku, karena itu sama saja dengan memberitahu jabatan papaku. Ah, apakah kalian bisa kembali menjadi tadi? Jangan sungkan dan canggung,"

"Jangan lupa obati lukanya Fajar, ya? Supaya tidak bermasalah nantinya," aku melihat mereka yang menatapku dengan tatapan tidak percaya, aku bingung mau apa, aku melihat jam yang menunjukkan pukul 5 sore, ah sepertinya aku mendapat ide bagus.

"Oh iya aku pulang dulu ya? Aku sudah cukup lama pergi, takut nanti semua orang mencariku. Tenang saja, rumahku sebelahan persis dengan rumah kalian, sampai jumpa, senang bertemu kalian!" aku langsung pergi setelah mereka mengangguk.

Athanasia Van Bristen [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang