Satu tahun telah berlalu, kini Pappie dan Mammie sudah kembali ke Hindia-Belanda. Mereka tiba saat jam sarapan, aku tidak begitu senang dengan kehadiran mereka karena
"Selamat datang Pappie, Mammie!" aku mencoba bertegur sapa dengan mereka.
"Selamat pagi, putriku." hah, putriku? Tumben sekali Pappie mengucapkan kalimat itu.
Ada anak perempuan. Dia berambut coklat dan panjang, bermata biru, bertubuh tinggi, dan wajahnya memberi kesan bahwa dia adalah orang yang sombong.
"Hai, Athanasia. Mulai hari ini aku akan menjadi adikmu, aku akan satu sekolah denganmu, mohon bantuannya." katanya dengan nada ketus, mirip seperti Mammie, bisa dibilang ini adalah awal yang buruk.
"Ya, Valeri. Aku akan mengajarimu jika kamu ada yang tidak paham, mohon bantuannya juga."
Kataku, lalu dia melihatku dengan tatapan tidak suka."Ya, Mammie. Oh, Pappie sudah setuju?" tanyaku hanya untuk berbasa basi saja.
"Ya, papa setuju,"
"Kalian tidak minta persetujuan dariku?"
Hey, aku juga punya hak untuk berpendapat, apa kalian lupa?"Tidak perlu. Pendapatmu sama sekali tidak berguna, Athanasia," kata mama dengan nada yang ketus. Tentu saja, aku pasti akan berkata 'Ya', tidak mungkin aku menolak keinginannya mama.
Lalu aku bergumam, "Kan aku hanya menggunakan hakku."
Papa dan mama sudah kumpul di meja makan, aku mengajaknya untuk ke kamar dia. Dia memilih kamar tepat di depan kamar Mammie. Aku bersenandung kecil.
"Aku akan merebut Mammiemu, apalagi Pappie yang merupakan sumber penghasil uang disini. Kau akan semakin kekurangan kasih sayang dari Pappie. Aku tahu kamu sangat sayang pada Pappie, kan? Kita lihat siapa yang lebih pintar."
"Tak masalah, lagipula kau kan sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Jika Pappie salah paham tentangku karena kamu, suatu saat kebenaran akan muncul kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Athanasia Van Bristen [TAMAT]
Fiction HistoriqueDi zaman penjajahan Belanda, punya Mammie dan Pappie tentara, juga tinggal bersama keluarga tiri kira-kira seru? Nggak tuh! [Inspirasi dari Dimas Van Dijk karya Risa Saraswati]