"Jika Islam memiliki salat wajib lima kali sehari dengan bacaan tertentu, maka Hindu memiliki trisandya. Sesuai namanya, kami melakukan itu sebanyak tiga kali." Nami menjelaskan dengan suaranya yang teduh.
Tiga orang yang lain mengangguk paham. Mereka mendapat ilmu baru, sekadar menambah pengetahuan.
"Terus, maksud keluarga adalah ketidakberdayaan untuk kamu itu, apa?" tanya Harsa.
"Keluarga itu mustahil bagiku. Aku dibesarkan tanpa keluarga inti. Dari kecil, aku tinggal bersama Bibi." Suara itu terdengar sendu, tetapi tak ada unsur mengiba di sana.
"Sorry." Aeera menggigit bibir bawahnya pelan, merasa tak enak hati pada Nami.
"Tidak apa-apa." Nami tersenyum. "Bagiku, keluarga itu sudah seperti kelemahan. Aku tidak memilikinya, tapi aku ada karenanya. Berulang kali aku mengelak, tapi jawabannya tetap sama. Pembatas bagimu adalah benteng berlindung yang selama ini aku dambakan, Aeera."
Setali tiga uang, Nami menundukkan kepala untuk menghindari tatapan ketiganya, juga menyembunyikan netra yang sudah berembun.
"Bagi sebagian orang di luar sana termasuk aku, keluarga itu hal mewah yang mau diusahakan seperti apa pun, tetap tidak bisa."
Edsel menggaruk pelipis dengan jari telunjuk, ciri khasnya jika sedang merasa canggung. Harsa dan Aeera juga diserang rasa bersalah dengan telak. Mereka terlalu bersemangat membahas keluarga, padahal Nami tak kuasa atas itu.
"Em ... apa Aeera dan Harsa satu kelas?" Nami seketika mengangkat kepala dengan ekspresi yang sudah seperti semula. Ia paham kenapa ketiganya tiba-tiba membisu. Meskipun tak biasa, perempuan asal Bali itu berusaha sekuat tenaga memecah kecanggungan yang ia ciptakan.
"Iya, kami sering satu kelas, bahkan selalu." Harsa menjawabnya dengan tenang, membuat Edsel diam-diam mengembuskan napas lega.
"Nam, kenapa aku jarang lihat kamu bicara sama orang lain?" Kali ini, Edsel yang bersuara. Ia juga tidak mau terjebak dalam suasana merepotkan itu.
Nami kembali menunduk dan gerakan refleks itu terbaca jelas oleh Aeera. Di mata perempuan itu, ada yang salah dengan Nami.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku jarang berbicara dengan yang lain?" Nami bertanya dengan ragu. Tangannya yang berada di pangkuan saling tertaut.
"Edsel pengamat yang baik meskipun terlihat selalu fokus ke ponsel, Nam," sahut Aeera, membuat perempuan itu menoleh ke arahnya.
Harsa yang sudah sepenuhnya menguasai diri, duduk santai sambil sesekali menyedot es teh. Ia sama pahamnya dengan Aeera, namun lelaki itu memilih diam.
"Aku pikir, mereka tidak mau berteman denganku."
"Kamu tidak hidup dalam pikiranmu, Nami." Harsa seakan tersulut oleh kalimat Nami. Suaranya tetap tenang, bahkan terkesan tanpa beban.
"Setiap hari kita mempelajari keadaan psikologis seseorang. Meskipun aku bukan mahasiswa superior, aku bisa lihat krisis percaya diri yang kamu alami itu. Terlebih, kita sekelas. Kamu hanya larut dalam opini-opini nggak beralasan kamu, Namrata." Edsel menyandarkkan punggung pada kursi dan melipat tangan di depan dada. Dipandangnya Nami yang duduk di seberang dengan lekat.
"Nggak ada yang nggak mau berteman sama kamu. Kamu cuma perlu membuka mata dengan lebar. Mereka hanya enggan karena kamu selalu dan terlalu menutup diri. Apa aku salah?" Apa yang diutarakan Edsel memang tepat sasaran. Selama ini Nami hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuknya saja.
Tertohok tentu saja. Ulu hati Nami serasa teremas dengan kuat mendengar kalimat tajam Edsel. Memang begitulah realitanya, Nami pun membenarkan.
"Semua orang berhak untuk bersosialisasi dengan siapa pun, begitu juga kamu. Namun, jangan lupa satu hal, mereka nggak berkewajiban berteman denganmu. Jika kamu membutuhkan mereka, kamu yang harus berusaha." Aeera mengakhiri ucapannya dengan senyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...