14. Otoritas Perempuan

388 90 32
                                    

Angin malam tetap mengembuskan suhu menusuk. Meski begitu, keempatnya masih duduk melingkar dengan sepiring camilan di tengah-tengah mereka. Tak seorang pun yang duduk di atas kursi. Mereka sama-sama duduk lesehan di lantai.

"Kalau nggak salah, Nawal itu feminis Mesir, kan?" Harsa menautkan kedua alisnya. Tangan pemuda itu sesekali meraih kentang goreng yang tersedia.

Di sisi lain, Aeera masih berpikir keras mengingat siapa itu Nawal atau apa karyanya yang fenomenal. Mungkin saja, ia pernah membaca salah satunya, tetapi lupa. Nami sendiri mengangguk menanggapi pertanyaan Harsa.

Tiba-tiba wajah Aeera berbinar. "Aku ingat sekarang. Aku pernah baca salah satu pemikiran beliau dan memang that is amazing thoughts. Tunggu, deh. Kalau kita bahas Nawal, artinya lingkup pertanyaanku sebelumnya terlalu kecil. Seharusnya lebih pada feminisme, bukan?"

Harsa dan Nami sontak mengangguk bersamaan. Keduanya sama-sama menikmati ekspresi kesal Aeera. Sementara itu, Edsel tetap santai memakan kudapan.

"Jadi, aku harus meralat pertanyaanku?" Gadis itu melihat jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul delapan malam. Ia masih memiliki sekitar satu jam sebelum pulang, sesuai janjinya pada Lubna. "Baiklah, masih ada waktu. Mari kita perluas pokok bahasan. Feminisme."

Ketiga orang di sekeliling Aeera saling pandang, mengode satu sama lain siapa yang akan lebih dulu berargumen. Belum genap semenit bungkam, ponsel Harsa berdering. Bukan sebuah panggilan, hanya pesan singkat.

Aeera sudah siap melontarkan pertanyaan pada lelaki itu, tetapi dengan cepat dipotong oleh Harsa. "Jangan bertanya dari siapa."

Edsel tertawa keras. "Aeera kepo yang nggak pernah mau ngaku kepo, akhirnya kalah sama Harsa."

"Ayo, lanjut aja," kata Harsa setelah membalas pesan yang masuk.

Aeera menghela napas panjang. "Nam, sekalian dari kamu. Lanjut yang tadi."

Namrata mengangguk dan kembali berujar, "Karena yang tadi aku bahas mengenai komoditas, aku hanya akan mengarah ke sana. Pemikiran Nawal mengenai ini berawal dari maraknya potret perempuan dengan pakaian terbuka yang digunakan sebagai iklan komersial di sudut-sudut kota. Baginya, itu bukan unsur pembebasan terhadap perempuan, tetapi pemanfaatan dan pengeksploitasian kecantikan untuk kepentingan kapitalisme. Aku harap tidak ada yang tersinggung setelah ini."

Aeera memandang Nami sangsi. Dahinya pun ikut berkerut samar. Memang, konteks mana yang membuat tersinggung?

"Nawal bahkan tidak setuju dengan pengenaan cadar bagi perempuan."

Aeera membulatkan mata. Ia belum pernah mendengar itu sebelumnya. Ia hanya pernah membaca biografi tokoh tersebut. Pun dengan pemikirannya, tetapi hanya sekilas.

"Ia menganggap bahwa penggunaan cadar adalah warisan dari ajaran Yahudi misogini dan sarat akan politisasi posisi utama gender laki-laki. Pada prakteknya, perempuan yang menyembah Yahweh harus disumpah dengan penutup kepala, sementara lelaki tidak. Dari sana, gagasan bahwa perempuan adalah tubuh tanpa kepala, muncul dan menjadi pembenaran dominasi laki-laki atas perempuan di segala aspek kehidupan."

Lagi, Aeera hanya bisa melongo. Harsa dan Edsel sendiri mendengarkan dengan tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Bukan karena tidak tertarik, tetapi di antara keempatnya, hanya Aeera yang benar-benar baru mendengar feminisme dari sisi pikiran Nawal.

"Bagaimana bisa aku baru tahu? Padahal, Nawal dan pemikirannya sudah seperti santapan lezat jika aku mendengar penuturanmu. Apa lagi, beliau feminis muslim."

Kekaguman tidak bisa disembunyikan dari wajah Aeera. Perempuan itu merasa bersalah pada dirinya sendiri karena tidak membaca pikiran-pikiran Nawal El-Saadawi sejak awal.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang