7. Kontradiksi

367 93 5
                                    

Edsel sudah duduk manis di sofa ruang keluarga rumahnya. Setelah membersihkan diri, ia turun dari kamar yang berada di lantai dua.

Lira—mama Edsel—pun masih terjaga, meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Perempuan 43 tahun itu tengah menonton sebuah acara televisi.

"Tumben pulang malam, Sel?" tanya Lira.

"Tadi main sebentar ke rumah Aeera, Ma. Ngobrol sama ayahnya."

Lira menoleh ke arah Edsel dan melemparkan pandangan menyelidik. "Aeera yang kamu ceritain anaknya blak-blakan itu?"

Edsel mengangguk sekali. Ia beralih duduk di karpet dan memeluk bantal sofa, ikut menonton televisi.

"Sesekali ajak Aeera ke sini. Mama penasaran sama anaknya. Sekalian juga si Harsa sama teman baru kamu itu. Siapa namanya?" Lira mencoba mengingat. "Ah, iya. Namrata. Ajak mereka main."

"Boleh. Lain kali Edsel ajak ke sini."

Beberapa menit dalam kebisuan, Edsel ingat sesuatu. Ia ingin menanyakannya tadi. "Ma, rumah depan itu sudah ada yang nempatin?"

Sambil memasukkan kudapan ke mulut, Lira menjawab, "Iya. Tadi siang baru pindahan. Mama juga sempet ngobrol sedikit sambil bantu-bantu. Anaknya ada yang seumuran kamu, tapi Mama nggak tahu dia kuliah atau nggak."

"Cowok?"

"Perempuan, cantik. Kelihatan dari matanya." Lira menatap sangsi ke arah sang putra. "Jangan coba-coba kamu suka sama dia, ya!"

Edsel mengerutkan kening dalam. Belum pernah ibunya itu ikut campur terhadap kehidupan asmaranya. "Kenapa aku nggak boleh suka sama tetangga baru?"

"Kamu mau menukar rosario kamu sama tasbih? Mau punya istri bercadar? Mau pindah agama?" cecar Lira.

Edsel tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan sang mama. Tak lama kemudian, raut wajah lelaki itu berubah semringah.

"Tunggu, dia ... muslimah bercadar?"

-o0o-

Pagi-pagi sekali, Edsel sudah berdiri di depan gerbang rumah tetangga barunya. Lelaki itu tak melakukan apa-apa, hanya diam dengan ekspresi menyebalkan bagi siapa saja yang melihat.

Tepat pukul tujuh pagi, seseorang yang diharapkannya keluar rumah, menampakkan diri. Seorang muslimah dengan gamis syar'i berawarna hitam, lengkap dengan cadar berdiri di seberang gerbang. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah plastik hitam ukuran sedang yang digunakan untuk membuang sampah.

Senyum merekah di bibir Edsel. Benar dugaannya, bahwa perempuan tersebut adalah seseorang yang berhasil mengambil atensinya beberapa hari lalu.

"Selamat pagi, Embun. Ternyata benar dugaanku bahwa itu kamu," sapa Edsel.

Embun hanya mengangguk sekali sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Mereka berdua masih terpisah gerbang besi yang tersusun secara vertikal. Gadis itu tak menjawab sapaan Edsel. Ia bahkan hanya menundukkan kepala setelahnya.

"Oh iya. Aku belum memperkenalkan diri. Padahal, aku sudah tahu namamu. Aku Edsel." Lelaki itu mengulurkan tangannya melewati celah gerbang.

Lagi, Embun hanya menangkupkan tangan. Hal tersebut membuat Edsel menepuk jidat dan meringis pelan. "Maaf, aku lupa. Kata Aeera, bukan mahram."

Sejenak, Edsel melihat mata Embun menyipit. Perempuan itu jelas tersenyum di balik cadarnya, senyum yang menular pada Edsel.

"Eh, kamu ... ingat aku, kan? Kita sempat ketemu di gedung sekretariat kampus dan halte. Waktu itu, aku bersama dua orang temanku." Edsel menunjuk dirinya sendiri dan mengangkat sebelah alis.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang