9. Nasihat Tersirat Ngaji Filsafat

417 98 29
                                    

Hari yang melelahkan bagi Aeera. Jadwal kuliah yang padat serta permasalahannya dengan Yahya, cukup menguras tenaga gadis tersebut.

Tak mau pulang cepat, Aeera memilih mampir ke taman kompleks setelah Edsel dan Harsa menurunkannya di pertigaan jalan menuju rumah. Bukan kedua lelaki tersebut tega, tetapi Aeera yang bersikeras meminta.

Jam hitam kecil di pergelangan tangan Aeera sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, tetapi ia tak peduli. Gadis itu hanya berkeliling taman tanpa tujuan dengan pandangan kosong.

Tas hitamnya ditenteng di tangan kanan tanpa minat. Terlihat jelas bahwa gadis tersebut masih kacau meski sudah membagi bebannya pada Harsa, Edsel, dan Nami.

Pada akhirnya, Aeera memilih duduk di salah satu bangku taman. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Ia benar-benar tak habis pikir jika tadi pagi Yahya menamparnya.

"Kesedihan hanya ada dalam pikiranmu sendiri, Aeera."

Aeera menoleh seketika saat mendapati seseorang duduk di sampingnya. Matanya sempat membulat, tetapi hanya sekejap. Ia dengan cepat menguasai air mukanya.

"Untuk menemukan kebahagiaan, you just need to enjoy every single process you did. Nggak peduli itu menyenangkan, menyedihkan, memuakkan, sampai menjijikkan sekalipun. Everything will be okay just if you think that you are okay."

Aeera menelisik makna perkataan tersebut lebih dalam, namun nihil. Terlalu ambigu.

"Kamu terlalu fokus pada kesedihanmu. Kenapa kamu tidak mencoba memikirkan hal lain yang menyenangkan? Jangan sampai kamu dikendalikan oleh pikiranmu, Aeera. Di sini, kamu pengendalinya. Sesekali terlihat lemah tak masalah, asal jangan sampai berpengaruh pada mindset-mu bahwa kamu akan terus lemah. Sugesti pikiran itu senjata paling berguna sekaligus paling berbahaya. Everything will be okay just if you think that you are okay. Sebaliknya, jika kamu berpikir bahwa semuanya tidak baik-baik saja, maka itu yang kamu dapat."

Aeera menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. Kepalanya ditengadahkan ke langit dengan mata terpejam. Gadis itu coba menenangkan diri melalui cara itu.

"Apa pendapat kamu tentang cinta, Maruta?" tanya Aeera dengan mata yang masih terpejam. Isi kepala gadis itu benar-benar random. Entah apa maksud dan tujuan dari pertanyaannya.

"Cinta tidak bisa dideskripsikan, Ra." Maruta terkekeh kecil. "Jika kamu mendeskripsikan cinta, maka cinta akan mati saat itu juga. Jika kamu masih bisa mendeskripsikan cinta, maka itu bukan cinta."

Aera menoleh cepat ke arah Maruta. Lagi-lagi ia tak paham. Mendadak, Aeera tertarik dengan pokok bahasan itu.

"Setahuku cinta itu nausse. Memuakkan dan buat kita jadi kehilangan dunia kita sendiri. Karena saat kita jatuh cinta, kita sudah tertarik masuk ke dalam dunia orang yang dicintai. Aku menemukannya pada kajian filsafat cinta."

Maruta tersenyum lebar. Ia sama sekali tak salah memperhatikan orang. Lelaki bermata sipit tersebut mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Aeera.

"Apa beliau yang kamu ikuti kajiannya?"

Aeera meringis kecil. Ternyata Maruta tahu dari mana ia mendapat kata-kata itu.

"Iya. Aku lumayan sering mendengarkan ngaji filsafatnya beliau. Aku selalu merasa apa yang aku dapat dari sana, berguna." Aeera bercerita dengan berapi-api. Ia seakan lupa dengan kegundahan hati yang dialaminya.

"Dr. Fahruddin Faiz selalu bisa attract orang lain untuk masuk ke dalam dunia filsafat." Maruta kembali memasukkan ponselnya ke saku kemeja yang dikenakan. "Cinta itu konflik, paradoks, saling membelenggu. Jadi, jangan salahkan orang yang mengekang karena alasan cinta. Begitu juga dengan cinta tanpa alasan, jangan percaya. Akan selalu ada alasan untuk cinta."

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang