15. Justifikasi Tak Berdasar

318 83 21
                                    

Sinar mentari menyusup lewat celah tirai kamar bernuansa monokrom itu. Sorot cerah kekuningan jatuh tepat pada sebuah kanvas hitam dengan grafiti bertuliskan "Being different" di atasnya.

Rumah kontrakan sederhana yang berada di pinggiran kota besar, membuat si penghuni tak bisa mendengar kokok ayam atau sekadar cericit burung di pagi hari. Ia harus puas dengan keadaan yang monoton.

Bangkit dari posisi berbaring, ia mengucek kedua mata sekilas, lantas mengacak rambut undercut messy miliknya. Setelah merasa cukup mengumpulkan kesadaran, diambilnya ponsel ber-case hitam doff dengan ornamen jangkar di tengah-tengah dari atas nakas. Niatnya tak lain dan tak bukan untuk melihat jam. Pukul 05.30 WIB.

"Masih hidup, rupanya." Kekehan keluar dari bibir tipisnya. Mata sipit lelaki itu semakin tak terlihat karena tindakan tersebut.

Ia beranjak untuk membersihkan diri. Setelah berpakaian lengkap—jeans dan kaos oblong dilapisi kemeja yang tak dikancingkan—lelaki itu meraih tas gitar beserta isinya di sudut kamar. Ia menyangklongkannya di bahu kanan.

Sampai di ambang pintu rumah, ia mengembuskan napas panjang. Lelaki tersebut mengacak rambut sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan kontrakan yang ditinggalinya sendirian.

"Loh, mau ke mana, Rut? Pagi-pagi begini sudah mau pergi. Bawa gitar lagi." Seorang perempuan kisaran empat puluh tahun menghentikan langkahnya. Di tangan perempuan tersebut sudah tertenteng sebuah kresek transparan penuh belanjaan.

"Ada acara di kampus, Bu. Dapat undangan pensi sama temen-temen," jawabnya sesopan mungkin.

Perempuan itu mengangguk paham. Belum sempat berbicara lagi, suaranya sudah lebih dulu dibungkam oleh kalimat Ruta.

"Kalau begitu, saya permisi, Bu. Sudah ditunggu."

"Eh, sebentar. Rut, kalau nanti siang udah pulang, makan siang di rumah Ibu aja. Nanti kebetulan ada acara, jadi masak banyak."

Maruta mengangguk sekali. Setelah melemparkan senyum, ia bergegas pergi.

Kaki Maruta menyusuri jalanan kampung yang mulai rusak. Meski beraspal, tetapi lubang jalan ada di mana-mana. Bukan suatu masalah sebenarnya. Hanya, itu akan sangat mengganggu jika hujan turun.

Sampai di jalan besar, ia sudah ditunggu oleh Yasfi di depan warung kecil. Pemuda itu adalah orang asli Jakarta berambut spike yang gayanya tak jauh beda dengan Maruta sendiri.

"Sudah lama?"

"Baru aja sampai." Yasfi mengembuskan asap rokok dari celah bibir. Lelaki itu masih duduk di bangku panjang dengan kaki diangkat sebelah.

Maruta ikut duduk di sebelah Yasfi. Gitarnya diletakkan di antara kedua kaki. Ia juga ikut merokok setelah meminta batang nikotin tersebut pada temannya.

"Wah, seperti ini rupanya. Laki-laki yang tempo hari mengancamku karena tidak terima dengan perjodohan Aeera. Tidak punya pekerjaan, pagi-pagi sudah ngerokok sambil ongkang-ongkang kaki di depan warung." Andaru tiba-tiba datang dan bergabung dengan keduanya. Laki-laki itu berpakaian formal dengan jas melekat sempurna di badan.

Maruta tidak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun. Sementara Yasfi, laki-laki itu tampak sudah tersulut emosinya.

"Lo siapa, sih? Dateng-dateng nggak ada sopan santunnya, malah nyari mati. Nggak punya kerjaan, katanya. Lo aja yang nggak tahu." Teman Maruta itu sudah berdiri dan memasang sikap menantang pada Andaru. Rokoknya sudah dibuang dan diinjak dengan kasar.

"Aku tidak punya urusan dengan kamu. Urusanku hanya dengan lelaki antah berantah di sebelahmu." Telunjuk Andaru mengacung pada Maruta. Namun, lagi-lagi tak ada ekspresi yang diterimanya sebagai respons.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang