Nami berjalan dengan kecepatan sedang. Ia menundukkan kepala dalam-dalam saat menyusuri trotoar menuju toko buku. Bukan semata ingin fokus ke jalanan, tetapi agar dirinya tak menjadi pusat perhatian. Setidaknya, itu pikiran Namrata Rinjani.
Beberapa langkah sebelum menginjakkan kaki di pelataran toko buku yang terbilang kecil itu, ia mendengar suara yang familiar di telinganya. Mata gadis itu menyipit sambil membenarkan letak kacamata yang melorot. Di depan sana, ia melihat Edsel tengah berbicara dengan seorang perempuan bercadar. Tidak salah lagi, itu Embun.
Samar-samar, Nami mendengar perbincangan searah yang terjadi. Edsel terus berbicara, sedangkan Embun terlihat hanya diam.
Nami memutuskan mempersempit jarak agar mendengar lebih jelas. Bukan bermaksud menguping, hanya saja, ah ... sudahlah.
"Tidak baik perempuan jalan sendiri. Apa lagi, ini sudah sore, Embun. Lebih baik, pulang bareng aku, rumah kita berhadapan, kan? Aku juga nggak mungkin berbuat yang aneh-aneh." Suara Edsel terdengar meyakinkan.
Nami hanya melihat Embun menggelengkan kepala sebagai responsnya. Bukankah, akan lebih baik jika perempuan itu menjawab dengan kalimat pula? Sekadar untuk menghargai lawan bicaranya.
"Kenapa? Kamu takut sama aku? Memang aku ada muka-muka kriminal?" tanya Edsel lembut. Namun, Embun hanya meresponsnya dengan gelengan kepala. Lagi.
Tanpa sadar, Nami sudah berada di samping keduanya. Edsel tampak terkejut, sedangkan Embun terlihat mengembuskan napas lega.
"Eh? Di sini juga, Nam?" tanya Edsel.
Nami mengangguk sambil tersenyum. "Ada buku yang harus dibeli."
"Afwan, saya harus pergi." Suara Embun mengambil atensi keduanya. Ia melangkahkan kaki menjauh, membuat Edsel menghela napas panjang.
Namrata terdiam. Ia pernah berpikir bahwa dirinyalah orang yang paling sulit diajak komunikasi, tetapi perempuan itu ternyata lebih parah. Entah dengan alasan apa, Nami tidak tahu.
"Maaf, apa baru saja aku mengganggu?" Nami menautkan kedua alisnya. Ia merasa tidak enak pada Edsel.
Lelaki itu menggeleng. "Kamu nggak ganggu, kok. Justru kamu nyelametin aku dari keinginan buat maksa dia pulang bareng."
"Kenapa Embun tidak mau? Bukankah, kalian tetangga?"
Edsel mengacak rambutnya pelan. Setelahnya, sebelah tangan lelaki itu dimasukkan ke saku jeans-nya.
"Katanya, dalam Islam dilarang berduaan di tempat tertutup. Misal, mobil. Aku paham itu. Itu juga sebabnya kalau aku ajak Aeera pulang bareng, aku selalu ajak Harsa dan kamu ikut serta. Agar nggak ada fitnah, tapi ... sepertinya Embun memang begitu. Maksud aku, benar-benar menutup diri."
Nami tersenyum canggung. Ia membenarkan anak rambut yang tidak ikut terikat.
"Mau aku temani cari buku? Daripada aku langsung pulang." Edsel menaikkan kedua alisnya.
Perempuan itu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berkata, "Boleh."
Mereka berjalan bersisian memasuki toko buku tersebut. Keduanya saling diam dan fokus pada pandangan masing-masing.
"Kamu mau cari buku apa, Nam? Kayaknya, perkiraan aku, bukan buku kuliah." Lelaki itu ikut berhenti saat Nami berhenti di depan salah satu rak buku nonfiksi. Ia ikut mengambil buku dengan judul "Psikologi Revolusi" hasil terjemahan tulisan Gustave Le Bon.
Nami masih fokus melongokkan kepala mencari buku incarannya. Mendapat apa yang ia cari, perempuan itu mengangsurkan buku tersebut pada Edsel.
"Karya Yuval Noah Harari, Homo Deus?" Edsel melihat bagian belakang buku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...