Epilog

642 90 43
                                    

Langkah kaki itu berpindah perlahan. Selangkah demi selangkah. Rintik hujan, pun tanah berlumpur tak dihiraukannya. Yang ia peduli hanya hamparan tanah di depan mata yang bergunduk-gunduk serta tertanam nisan di atasnya.

Tangan itu mulai terentang. Dirasakannya tetes-tetes air langit dengan khidmat, dinikmatinya suhu yang kian menusuk, jua ... dipasrahkannya air mata yang ikut meluruh dalam dekapan tanda tanya.

"Cinta macam apa yang masih membuatku menoleh kanan-kiri? Cinta macam apa yang masih membuatku bertanya kenapa? Cinta macam apa, sedang aku masih sering ingkar? Qais sampai majnun karena cintanya, dialirkan nama Laila dalam tiap-tiap edaran darahnya. Ia tersenyum ketika piring dibanting Laila di depan matanya. Kenapa? Lagi-lagi karena cinta."

Ia terus melangkah. Tiap embus napas, renungan ia tanam dalam-dalam. Perkara cinta, majnun, Tuhan, dan dirinya sendiri.

"Mirza tak pernah berhenti menyebut nama Tuhannya. Terjaga, memejamkan mata, hingga menggembala sapi-sapinya. Ada cinta pada Tuhan dalam setiap kata yang ia lontarkan. Mirza berani mengutuk dirinya sendiri, kala sapi-sapi itu makan bukan dari rumput liar, melainkan di kebun milik seseorang. Mirza melakukannya karena cinta."

Ia berhenti dan melayangkan tatapan pada salah satu makam yang berada tak jauh dari posisinya berdiri. Seseorang berjongkok dengan kepala menunduk, kedua tangan mengepal erat-erat, serta rambut yang sudah tak karuan.

"Siapa yang berziarah ke makam orang tua Aeera? Itu jelas bukan dia."

Hujan semakin deras. Pandangannya perlahan mengabur karena terhalang titik-titik air.

Belum sempat kembali berjalan untuk menghampiri orang itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang perempuan yang baru datang dari arah belakang.

"Aku udah cari kamu dari tadi. Kenapa malah hujan-hujan di sini, sih, Rut?" Suara perempuan itu sengaja dikeraskan.

"Aku mau berziarah ke makam orang tua kamu, tapi ... itu siapa, Aeera?" Maruta menunjuk arah makam dengan telunjuk. Sebelah tangan yang bebas, digunakannya untuk mengusap wajah.

"Kita berteduh dulu, hujan makin deras. Nanti aku jelaskan."

Mereka memutuskan untuk berteduh di gubuk tempat penjaga makam. Cukup untuk menghalau air agar tidak menimpa tubuh kedua orang itu.

"Jadi?" Maruta bertanya dengan alis tertaut.

Aeera menghela napas panjang sambil mengusap lengan atasnya. Ia berusaha mengusir hawa dingin yang terlanjur mengambil alih suhu tubuh.

"Namanya Gendis. Perempuan yang aku temui di tempat prostitusi beberapa minggu lalu. Aku nggak tau kenapa, waktu lihat aku, dia langsung nanya masalah keyakinan yang aku anut. Nggak sopan, sih, tapi kayaknya dia emang peka. Ya ... aku ceritain, deh." Tangan Aeera masih terus mengusap lengan.

"Kenapa dia sampai rela hujan-hujan demi ziarah ke makam orang tua kamu? Maksud aku, masih ada hari lain, bukan?"

Perempuan di samping Maruta itu melirik dengan tajam. "Then, why did you intend to do the same as she did? Kamu juga rela hujan-hujan demi ziarah ke makam Ayah sama Mama."

Maruta yang geram melihat Aeera menggigil, menanggalkan jaket kulitnya hingga tersisa kaos hitam yang dikenakan dan melemparkan ke arah gadis itu. Aeera menyambutnya dengan kekehan kecil, lantas memakainya. Meski basah, lumayan membantu.

"Itu terserah padaku."

Lagi-lagi Aeera terkekeh. "Because of me, I know it." Gadis itu menghadap ke arah Maruta. "Gendis tertarik sama kisah hidupku yang cukup drama. Nggak jauh beda sama hidupnya sendiri. Waktu tahu apa yang aku jalani sekarang, dia sempat nampar aku dan bilang bahwa aku adalah cewek paling bodoh yang dia temui. Sejak saat itu, kami cukup akrab sampai dia rela melakukan hal yang kamu bingungkan itu."

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang