Aeera, Harsa, dan Edsel sudah berada di depan pintu masuk bandara. Mereka celingak-celinguk mencari keberadaan Bayu serta orang tua Aeera yang sudah lebih dulu sampai.
Sudah seminggu berlalu dari pertemuan Aeera dengan Banyu. Pada akhirnya, gadis itu menuruti Maruta untuk tidak berusaha terlibat dalam masalah keluarga Edsel. Pun dengan menghilangnya Maruta tanpa jejak. Tak seorang pun dari mereka yang bisa menghubungi lelaki tersebut. Nomornya tidak pernah aktif.
"Kak Bayu di mana, Ra? Jangan-jangan pesawatnya udah take off." Edsel masih memanjangkan leher melongok ke sana kemari. Tangannya memegang ransel yang tercangklong di sebelah bahu.
"Jadwal pesawatnya masih satu jam lagi. Lagi pula, Harsa nggak mau diajak bolos. Kalau tadi cuma titip absen, kan, bisa langsung ke sini." Tangan gadis itu sibuk mengutak-atik ponsel, berusaha menghubungi Bayu atau orang tuanya.
Harsa mengangkat kedua alisnya mendengar ucapan Aeera. "Bolos dan nggak ikut kuis hari ini sama saja dengan bunuh diri, Aeera."
Aeera mendengkus sinis. Tak lama kemudian, panggilannya tersambung dengan Bayu.
"Wa'alaikumussalam. Di mana, Kak? Aeera di depan sama teman-teman."
Beberapa saat kemudian, Aeera kembali meletakkan ponselnya dalam tas jinjing.
"Ada di kafetaria bandara. Makan siang, katanya. Yuk, ke sana!" ajak Aeera pada Edsel dan Harsa.
Mereka berjalan dengan Edsel berada di tengah-tengah. Tubuhnya yang terbilang jangkung, membuat Edsel cukup mencolok jika dibanding Harsa yang memiliki tinggi rata-rata, apalagi Aeera yang tidak sampai sebahu lelaki itu.
"Jadi, nanti kamu sendirian di rumah, Ra? Lagi pula, kenapa Om Yahya sama Tante Lubna harus menetap di sana untuk beberapa bulan ke depan?" Harsa bertanya dengan santai. Langkahnya tetap mantap tanpa menoleh sedikit pun.
"Ya ... mau bagaimana? Ayah sama Mama ada urusan bisnis di Malaysia. Kak Bayu juga balik bareng, meskipun tujuannya beda. Rencana, aku mau ngajak Nami nginep. Lumayan, dia bisa hemat biaya kos beberapa bulan ke depan. Sekalian nemenin aku. Udah dapat izin, kok," jawab Aeera.
Mereka sampai di kafetaria. Segera, ketiganya menyusul sepasang suami istri serta anak laki-lakinya di meja ujung.
"Assalamu'alaikum, Yah, Ma," sapa Aeera sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan Bayu. Hal tersebut diikuti Harsa serta Edsel.
"Wa'alaikumussalam," jawab ketiganya serentak.
Mereka duduk di kursi yang tersisa.
"Teman kamu yang perempuan nggak ikut, Ra?" Yahya bertanya setelah menggeser piringnya yang sudah kosong menjauh.
"Nami ada kegiatan di pura, Yah. Jadi, tadi langsung pulang. Oh, iya. Nami titip salam untuk Ayah, Mama, dan Kak Bayu."
Ketiganya mengangguk sambil tersenyum.
"Har, Sel," panggil Bayu, membuat kedua lelaki tersebut memfokuskan pandangan, "Titip Aeera. Awasin dia, jangan sampai aneh-aneh. Punya orang, tuh."
Aeera memutar bola mata mendengar pesan Bayu pada dua sahabatnya itu. Ia merasa seperti anak kecil. Aslinya, agak aneh mendengar kalimat sang kakak, tetapi ia abai.
"Kami percaya pada kalian berdua. Jangan rusak kepercayaan kami, ya," timpal Lubna.
Harsa dan Edsel mengangguk mantap. Sebenarnya, tanpa diminta pun, mereka akan melakukannya dengan senang hati. Aeera sudah seperti adik bagi mereka.
"Kami akan berusaha, Om, Tan, Kak Bayu." Harsa melemparkan senyum lebar.
Mereka berbincang-bincang sebentar sebelum sekeluarga minus anak bungsunya meninggalkan Indonesia. Tak ada kesedihan sama sekali. Toh, mereka akan bertemu lagi. Aeera juga terlihat santai-santai saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...