17. Lepas Kendali

253 82 12
                                    

"Menunggu Aeera?"

Andaru yang bersandar pada mobilnya di parkiran menegakkan tubuh. Sebelah alisnya terangkat tinggi. "Di mana dia?"

Kekehan lolos dari bibir Maruta. Ia memasukkan tangan kirinya pada saku celana. Angin yang bertiup ringan, membuat kemeja lelaki tersebut berkibar pelan.

"Di pikiranku, bisa jadi." Kali ini Maruta tersenyum. Bukan senyum tulus, melainkan lebih pada seringaian tipis. Gingsul lelaki tersebut terlihat jelas, menambah kesan manis meski penampilannya terbilang urakan dengan tindik di telinga.

"Kuperingatkan padamu! Aeera itu sudah dijodohkan. Jangan merasa bisa merebutnya dariku." Telunjuk Andaru mengacung tepat di depan wajah Maruta. Setelahnya, lelaki itu meraih ponsel dan mulai mencari kontak Aeera.

Ruta masih pada posisi santainya. Ia tak merasa terintimidasi sama sekali. Andaru tak punya cukup kalimat untuk membungkamnya begitu saja.

"Aku heran. Sebenarnya, kamu itu murni dijodohkan atau memang ada hal lain? Sikapmu terlalu berlebihan, Andaru. Terobsesi, begitu aku menyebutnya. Satu lagi, Aeera bukan barang yang bisa diperebutkan, untuk apa aku merebutnya? Dia manusia." Ucapan Maruta sukses menghentikan lelaki tersebut untuk menghubungi Aeera. Kemudian, ia meraih ponsel Aeera dari saku kemeja dan memperlihatkannya pada Andaru. "Menghubungi Aeera? Ponselnya di tanganku."

Andaru menggeram. Tangannya yang bebas mengepal sempurna. Raut wajah yang tadinya mencoba tidak peduli, hilang seketika. "Kenapa ponsel Aeera bisa ada di tanganmu? Di mana dia?"

Lagi-lagi Ruta terkekeh. Ia kembali mengantongi benda pipih berwarna hitam tersebut. "Sudah kubilang, di pikiranku."

"Kamu pasti sudah meracuni pikiran Aeera. Sampai-sampai, ponselnya kamu bawa pun, ia tidak masalah. Sekarang, berikan padaku ponsel itu. Biar aku kembalikan." Andaru mengulurkan tangan.

Mata Maruta yang pada dasarnya sudah sipit, disipitkan. Ia benar-benar tak habis pikir pada pikiran lelaki di depannya. Sungguh mudah bagi Andaru menjatuhkan statement. Sangat bertolak belakang dengan Aeera.

"Kamu tidak punya hak. Terserah apa pendapatmu mengenai ponsel itu karena aku tidak akan peduli. Satu hal yang harus kamu tahu. Perkataanku beberapa hari lalu tidak main-main, Andaru. Aeera ... ada dalam koridor perlindunganku, Harsa, dan Edsel." Kakinya melangkah meninggalkan Andaru. Sikap Maruta kelewat santai, tak ada beban berarti yang diperlihatkannya.

"Perdebatan pikiran benar-benar dimulai, Andaru. Kamu akan bertemu dengan gilanya pemikiran dan sikap Aeera. Kupastikan itu."

-o0o-

Suasana ruang keluarga kediaman Aeera memanas. Bukan karena cuaca, melainkan perdebatan yang terjadi di antara penghuninya.

"Aeera diam, bukan berarti akan diam saja seterusnya, Yah. Sudah berulang kali Aeera menolaknya, tapi Ayah selalu pura-pura tuli. Andaru nggak cocok dan nggak akan pernah cocok dengan Aeera. Pemikirannya terlalu sempit." Gadis itu menghela napas panjang. "Cukup sampai di sini. Hentikan perjodohan itu, Ayah. Aeera sudah muak."

Lubna hanya bisa melihat suami dan anaknya. Ia tidak mau menambah perdebatan yang ada. Dua orang itu sama-sama keras kepala, mustahil menenangkan keduanya dalam keadaan seperti ini.

"Tidak, Aeera. Keputusan tetap ada pada tangan Ayah. Kamu tidak bisa menolak," tukas Yahya.

Aeera tertawa hambar. Kepala gadis itu sampai mendongak untuk mengekspresikan kefrustrasiannya. Lagi, ia menjambak rambutnya sendiri dengan keras.

"Aeera bingung, sebenarnya hak anak itu apa aja, sih, Yah? Diberi nama oleh orang tuanya, diberi ASI waktu bayi, diasuh, diberi nafkah dan nutrisi yang baik, diberi pendidikan, apa lagi? Apa selain itu anak hanya sebuah boneka yang dikendalikan langkahnya oleh orang tua? Apa para orang tua pikir, anak itu nggak punya pikiran sendiri, sehingga mengambil keputusan saja dilarang? Apa anak itu hanya sebuah wayang dan orang tua itu dalang? Apa, Yah? Apa definisi Aeera untuk Ayah?"

Lubna terkejut mendengar penuturan putrinya itu. Ia tahu bahwa Aeera bukan anak manis yang akan selalu menurut, tetapi ia tak menyangka pertanyaan terakhir itu akan terlontar dari bibirnya.

"Ra, jangan memancing! Kamu tahu Ayah tidak akan segan-segan dalam bertindak." Geraman rendah lolos dari bibir Yahya.

"Aeera hanya bertanya tanpa mengurangi rasa hormat sedikit pun. Lagi pula, bertindak dalam hal apa maksud Ayah? Mengirim Aeera ke pesantren? Menghentikan pendidikan Aeera? Apa Ayah lupa, hal terakhir apa yang terjadi setelah Ayah memaksakan kehendak? Kakak mati-matian mendapat beasiswa ke Maroko, alih-alih melanjutkan beasiswanya di Jakarta yang mana sudah menjadi tujuan awal. Apa Ayah pikir Kakak hanya semata mengejar pendidikan? Nggak, Yah. Mungkin Kakak sudah terlalu muak menahan diri dari didikan Ayah yang otoriter."

Lubna melangkah mendekati Aeera. Ia ingin menghentikan setiap kalimat pedas putrinya. Jika tidak dihentikan, semuanya akan bertambah kacau.

"Jangan coba menghentikan Aeera, Ma. Aeera mohon." Gadis itu menyadari niat sang mama. Seketika, Lubna berhenti. Aeera sama keras kepalanya dengan Yahya.

"Kami punya pilihan sendiri. Biarkan kami memilih, Yah. Aeera tahu mana yang terbaik untuk diri sendiri. Baik menurut Ayah belum tentu baik menurut Aeera." Suara Aeera memelan. Ia coba membujuk Yahya.

Yahya sendiri terlihat berpikir. Tidak mungkin ia luluh begitu saja. "Tidak. Keputusan Ayah tetap dengan menjodohkan kamu," kata Yahya, lantas berbalik badan bersiap pergi. Ia ingin menghentikan perdebatan itu.

Napas Aeera memburu. Ia tak tahu lagi bagaimana menghadapi Yahya yang tak bisa dibujuk itu. Tangan-tangannya mengepal. Sungguh, ingin sekali ia melontarkan kalimat tidak pantas, tetapi ia tahu sopan santun. Bagaimanapun, Yahya adalah ayahnya yang wajib dihormati.

Gadis itu menguasai dirinya agar kembali tenang. "Baik, nggak masalah, tapi jangan salahkan Aeera jika langkah yang Aeera ambil akan menyakiti banyak orang."

Aeera lantas menoleh pada sang mama. Dilayangkannya tatapan datar, meski ada kekecewaan di sana. "Ma, menyusul Kak Bayu sepertinya jalan terbaik. Aeera akan lebih mandiri di sana tanpa bayang-bayang perintah Ayah yang nggak masuk akal. Nggak masalah berhenti kuliah beberapa saat, Aeera bisa meniru jalan yang Kakak ambil waktu itu."

Bersamaan dengan itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah mereka. Tak ada yang mendengar, mereka hanya fokus pada suara detak jantung masing-masing.

"Apa-apaan kamu, Aeera?" Suara Yahya berubah mengerikan. Lelaki itu sudah berdiri di hadapan anaknya dengan raut wajah tak bersahabat.

Aeera mendongak. Bukan maksud menantang, tingginya yang tak sebanding dengan Yahya, membuatnya harus melakukan hal tersebut.

"Kenapa? Ayah tahu, sama halnya dengan Ayah, Aeera nggak pernah main-main dengan ucapan sendiri." Gadis itu tersenyum. Ia beralih ke meja di mana totebag miliknya berada. Aeera mengambil sebuah amplop putih yang agak kusut berlogo SMA-nya dulu. Kertas itu memang selalu ia bawa sebagai motivasi. "Bahkan diam-diam, surat rekomendasi beasiswa luar negeri sudah Aeera kantongi sejak lulus SMA, nggak mustahil Aeera bisa mendapat kesempatan lagi, entah itu S2 nanti, atau pertukaran."

Amplop tersebut terlempar beberapa meter dengan wajah pemilik yang tertoleh ke kiri. Sebuah tamparan keras lagi-lagi diterima gadis itu dari sang ayah.

Lubna yang sedari tadi hanya diam, memekik kaget. Ia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tanpa sadar, air mata perempuan bergamis navy itu luruh.

"Jangan membuatku membawa Aeera ikut serta karena penglihatanku."

Semua mata tertuju pada seseorang yang baru datang. Raut terkejut tak bisa disembunyikan ketiganya.

-o0o- 

Aeera adalah aku kalo lepas kendali. Bodo amat siapa yang dihadepin, tapi jangan ditiru.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang