23. Pengakuan

315 87 22
                                    

"Maruta, aku ... belum paham."

Nami berulang kali membaca data diri Maruta. Ia berharap bahwa apa yang dia baca itu salah, tetapi nihil. Semuanya tetap sama.

Maruta menerawang. Pandangannya disapukan ke jalanan. Memejamkan mata sejenak, lelaki itu kembali menatap Nami. "Ada alasan kenapa aku bisa sampai pada titik ini. Sepertinya, percuma jika aku menjelaskan hanya padamu. Apa tidak sebaiknya menunggu Aeera dan yang lain besok pagi? Aku tidak suka menjelaskan dua kali."

Nami menunduk sambil menghela napas panjang sebelum mengembalikan KTP tersebut pada pemiliknya. "Tidak bisakah kamu menuntaskan rasa penasaranku? Sedikit saja. Perihal alasannya, tidak apa-apa jika menunggu yang lain," lirih Namrata.

Maruta terlihat mempertimbangkan permintaan gadis itu. Beberapa saat kemudian, dia mencondongkan tubuh, melipat tangannya di atas meja.

"Aku memang agnostik, tapi seperti yang kamu lihat, agamaku dalam KTP adalah Islam. Filosofi spiritualku menganut prinsip Budha dan Yesus, tapi aku tidak menyembah Tuhan tertentu." Ruta menikmati ekspresi linglung Nami. Salah satu alasan ia tak pernah menceritakan hal tersebut pada orang-orang adalah itu. Maruta tidak nyaman jika keyakinannya dianggap aneh.

"Bagaimana kamu beribadah?" Perempuan itu melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja.

"Aku tidak melakukan ritual ibadah, Nami. Begitulah prinsip agnostikisme. Aku tidak percaya pada karma, doa, dosa, pahala, surga, neraka, dan hal-hal semacam itu. Tuhan ada, tapi selama nalarku tidak bisa membuktikan itu secara sains, aku akan tetap pada keyakinanku."

Namrata, hanya bisa bungkam. Ia memijit pelan pangkal hidungnya. Ternyata, banyak hal yang belum ia ketahui perihal keyakinan. Ia pun tidak tahu harus merespons apa.

"Ruta, kenapa kamu hanya mengatakan agnostik pada Aeera dan keluarganya?" Nami memberanikan diri untuk bertanya. Entahlah, sifat pendiamnya seakan terkubur dalam-dalam.

Maruta mengusap wajah pelan. Senyum miris ia lempar pada Nami. Ada raut sayu yang bisa ditangkap perempuan di hadapannya.

"Aku bukan laki-laki bodoh yang tidak menyadari gelagat Aeera dan keluarganya. Bukannya terlalu percaya diri, tapi benar adanya, Nam. Mereka mengharapkan aku," lirih Maruta.

Ruta memejamkan mata sejenak, lantas kembali berkata, "Meskipun Aeera bersikap biasa saja, tapi aku paham, ada hal yang mati-matian ia kubur setelah tahu bahwa aku bukan seorang muslim. Begitu juga keluarganya. Love at the first statement, first opinion, and first knowledge that I showed to them. Aku tidak bisa menghindari itu. Jika aku menjelaskan lebih dari itu di hadapan keluarga Aeera, semuanya akan kacau."

Entah manusia macam apa Ruta itu, tetapi Nami tak bisa mengelak bahwa pernyataan laki-laki itu seratus persen benar, tepat sasaran. Aeera mengakuinya, bukan, kemarin?

"Jadi, kamu tahu jika Aeera menyukaimu karena—"

Ucapan Nami terpotong oleh Ruta. Lelaki itu mengetuk pelipisnya dengan telunjuk sambil berkata, "My brain, my thought, and what I've already known. Terlebih, sudut pandangku."

-o0o-

Tangan Aeera yang berada di bawah meja kafe gemetar. Penjelasan yang baru saja ia dengar dari bibir Maruta cukup membuatnya kehilangan orientasi untuk beberapa saat. Pandangan matanya kosong terarah pada lelaki itu.

Mereka berlima tengah berkumpul di kafe depan kampus. Waktu makan siang itu dimanfaatkan Maruta untuk memberitahu yang lain. Bukan kewajiban sebenarnya, tetapi ia merasa harus. Ada hati yang harus segera ia bunuh perasaannya.

"Kamu serius?" tanya Edsel.

"Apa kalian pikir perihal keyakinan itu perkara main-main?"

Aeera memaksakan senyumnya, meskipun kenyataan, ia ingin sekali berteriak dengan lantang. "Itu pilihan kamu, Rut. Kami nggak berhak men-judge apa pun. Seenggaknya, perbedaan itu indah."

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang