25. Terlampau Frontal

257 76 7
                                    

"Santai, Bro. Gue cuma mau kenalan sama cewek lo. Cantik, ya, Sel. Berjilbab lagi. Selera lo yang begini, sekarang?"

Edsel berdecak keras. Jika tidak dalam suasana seperti sekarang, mungkin bogeman sudah dilayangkan lelaki itu pada orang di hadapannya.

Lelaki itu bergeser dan membungkukkan tubuh di depan Aeera. "Kenalin, gue Banyu. Saudaranya Edsel. So, siapa nama lo, Cantik?"

Aeera mengangkat alis tinggi-tinggi. Sejenak, ia ikut melemparkan seringaian. Sepertinya, akan ada permainan yang menarik. "Aku Aeera."

Di tempatnya, Edsel menahan napas. Ia sempat melihat ekspresi ganjil di wajah temannya itu. Sudah pasti, ada yang Aeera rencanakan di otak out of the box-nya.

"Bagaimana rasanya pacaran sama Edsel? Apa dia memuaskan?" Banyu duduk di tempat semula Edsel duduk. Tak ada rasa bersalah sama sekali di wajahnya. Entah itu untuk merebut tempat duduk, juga untuk perkataannya yang tidak sopan.

Aeera terkekeh singkat, lantas melipat tangan di atas meja. Pandanganya lurus mengarah ke Banyu. "Puas? Dalam hal apa? Edsel terlalu sempurna untukku. Mana mungkin aku nggak puas? Ah ... aku justru penasaran, apa kamu bisa sehebat Edsel? I don't think so."

Edsel membelalak tak percaya, begitu juga Banyu yang sempat menoleh sekilas ke arahnya yang masih setia berdiri. Apa rencana Aeera sebenarnya?

"Wow! Ngeremehin gue rupanya. Dibayar berapa lo sama Edsel sampai setotalitas ini?" Banyu memandang Aeera dengan datar. Egonya terluka akibat perkataan gadis itu.

Edsel sendiri mengeraskan rahang. Ia sudah siap dengan kemungkinan buruk membuat kacau resepsi dengan menghantam laki-laki itu. Ia tidak terima jika Aeera direndahkan.

"Tunggu dulu. Dibayar?" Aeera menelengkan kepala. Senyum sinis tersungging di bibirnya. Beberapa saat kemudian, raut wajah gadis itu berubah serius. "Edsel nggak pernah membayarku. Lagi, kepuasan mana yang kamu tanyakan? Harta atau ketampanan Edsel? Menurutmu, mana yang bisa memuaskanku? Ah ... aku tahu isi otak kosongmu itu. Apa kepuasan seks yang kamu bicarakan, Bung?"

Kali ini, Banyu yang dibuat bungkam. Ia tidak menyangka bahwa Aeera akan sefrontal itu. Sementara itu, Edsel mulai rileks. Ia mulai mengerti alur permainan Aeera, meskipun tetap ada kekhawatiran. Ia paham betul bagaimana track record seorang Banyu.

Aeera bertepuk tangan kecil. "Aku beri tahu. Pekerja seks tetap akan keberatan mengakui diriya adalah pekerja seks. Apa lagi orang lain yang menjatuhi statusnya. Seorang germo atau mucikari akan tetap memberi pembelaan bahwa mereka adalah jalan rezeki untuk para PSK, meski nyatanya mereka adalah penjerumus. Bahkan, seorang istri pun tidak akan pernah rela jika dianggap sebagai budak seks suaminya, meskipun mereka melayani tanpa dibayar. Jadi, bagaimana menurutmu? Apa aku akan dengan sukarela mengatakan bahwa Edsel membayarku untuk hal yang tidak pernah aku lakukan? Are you quite insane, Dude?"

Pandangan mata gadis itu tak lepas dari Banyu. Aura intimidasi menguar dan hal itu dirasakan betul oleh lelaki di hadapannya.

"Ra," peringat Edsel. Namun, Aeera justru mengangkat telapak tanganya, berusaha menghentikan lelaki itu dalam mengambil atensi perbincangan.

"Terakhir kali aku menemukan kebodohan adalah melalaui fanatisme. Bukan perkara agama, tapi banyak hal. Sekarang, aku menemukan kebodohan lewat pemikiranmu. Apa semua perempuan itu hanya pemuas nafsu bagimu? Great, lanjutkan!" Aeera beranjak dan berdiri di samping Edsel. "Tanpa sadar, kamu sudah memposisikan diri sebagai, ah ... aku jadi ingat beberapa kata milik Chairil Anwar. Binatang jalang."

Edsel menahan tawanya mati-matian. Ia mengikuti langkah Aeera yang sudah menjauh lebih dulu.

Banyu sendiri, masih membisu. Ia cukup tertohok dengan perkataan Aeera. Sejenak, senyum miring terbit. "Perempuan yang menarik."

-o0o-

Aeera duduk termenung di depan meja belajar. Benda pipih di hadapannya hanya dibiarkan menampilkan sebuah kolom percakapan dengan Maruta. Ia ingin mengirim pesan kepada lelaki itu, tetapi pikirannya lebih tertuju pada sosok Banyu.

Pakaiannya sudah berganti dengan baju tidur. Rambut sebahunya dibiarkan terurai begitu saja, hingga sebagian menutupi wajah.

"Bagaimana caranya menyadarkan Banyu? Sedangkan, aksesku hanya Edsel, tapi dia menutup itu." Dengkusan kasar lolos dari bibir Aeera.

Sebuah pesan masuk ke ponsel gadis tersebut. Siapa lagi jika bukan dari seseorang yang ingin ia kirimi pesan sebelumnya?

|Jangan terlibat terlalu jauh. Ingat batasanmu, Aeera.

"Terus aja begitu, Rut," omel Aeera tepat di depan ponsel, "kayak cenayang."

Perempuan itu melempar ponselnya ke atas ranjang. Belum berapa lama, deringan terdengar. Tanpa minat, Aeera kembali meraih ponsel tersebut dan mengangkat panggilan.

"Apa?" sentak Aeera. Mood gadis itu benar-benar buruk.

"Aku tidak peduli jika kamu setengah hati mengangkat panggilan ini, Aeera." Kekehan terdengar dari seberang. "Jadi, aku tegaskan sekali lagi. Jangan terlibat terlalu jauh dalam urusan orang lain atau kamu akan menyesal."

"Apa salahnya, sih, Rut? Kalau aku bisa bantu, kenapa nggak? Selama kita bisa bermanfaat untuk orang lain, kenapa harus diem aja? Selama kita nggak merugikan pihak mana pun, sah-sah aja, kan? Dari cerita Edsel, Banyu butuh bantuan itu," cecar Aeera. Lagi-lagi, ia hanya mendapat respons berupa kekehan dari seberang sana.

"Aeera, ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa kamu paksakan untuk berada dan ikut andil di dalamnya. Membantu bagimu, belum tentu menyelesaikan masalah dan dianggap bantuan oleh orang lain. Bisa jadi kamu justru memperkeruh keadaan yang ada. Just be realist. Kamu tidak dirugikan. Jadi, aku mohon. Libatkan diri seperlunya dan buang jauh-jauh rencana gila yang ada di kepala kamu."

Aeera menjatuhkan diri ke atas ranjang. Badannya terlentang dengan tangan kanan masih memegang ponsel di depan telinga.

"Terus aku harus diem aja? Maruta, percuma aku memperkaya diri dengan pengetahuan, tapi nggak ada aksi sama sekali." Aeera memindah ponsel ke sisi kiri.

"Ra, please. Don't be a stubborn girl. Percaya sama aku. Manifestasi teori yang kamu dapat itu nggak bisa asal direalisasikan dalam berbagai hal. Ada porsinya masing-masing. Lebih baik kamu sibuk dengan buku bacaan kamu, perkaya sudut pandang, dan mari diskusi jika bertemu. Jangan urusi hal yang bukan teritori kamu." Maruta terdengar santai saat mengucapkannya, tetapi tetap penuh penekanan.

Aeera berdecak. Ia tak memiliki pembelaan atas pernyataan Maruta.

"Lalu, kapan kita bisa ketemu? Kamu sering muncul tiba-tiba, ilang juga tiba-tiba. Mana mungkin semudah itu bisa ketemu, Rut?" sindir Aeera.

Tak ada respons. Aeera hanya mendengar suara grasak-grusuk dari ponsel. Sepertinya, lelaki itu tengah berada di tempat yang lumayan ramai. Mungkin, sebuah tongkrongan.

Aeera menghela napas pelan. "Boleh aku bertanya? Aku harap, kamu bisa jawab dengan jelas."

"Apa?"

"Kenapa kamu selalu tahu apa yang aku alami? Selalu muncul saat aku butuh, selalu tahu apa yang sedang aku perbincangkan dengan seseorang, bahkan selalu tahu masalah aku." Aeera bangun dari posisinya. Sekarang, ia duduk bersila sambil memeluk sebuah bantal.

Lama tak ada balasan, hingga helaan napas Maruta tertangkap telinga Aeera.

"Tidak ada kebetulan, Aeera. Tidak ada. Aku menentukan takdirku sendiri. Semuanya sudah aku rencanakan. Terakhir kalinya aku bilang, jangan terlibat terlalu jauh dan jangan mencari keberadaanku setelah ini. Selamat malam."

Panggilan terputus sepihak. Aeera menggeram sambil membanting ponsel ke sudut ranjang. Ia benar-benar kesal pada semua hal, terutama Maruta. Belum selesai masalah perasaannya, ditambah Banyu, juga kalimat-kalimat ambigu seorang Maruta Syailendra. Apa lagi nanti?

"Kira-kira, apa ada orang yang lebih menyebalkan dari kamu, Rut?"

-o0o- 

Omongannya tolong difilter, Ra. Wkwkwk.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang