"Oke. Jadi ... nama kamu, Maruta?"
Laki-laki yang akhirnya duduk di antara Nami dan Aeera itu, mengangguk sekali sambil memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutnya. Tak ada kecanggungan meski baru pertama bergabung. Entah ia yang memang friendly dan easy going ... atau memang tak mau ambil pusing dengan pikiran orang-orang.
"Apa maksud kata-kata kamu tadi?" Harsa menyuarakan pertanyaan yang masih tumpang tindih di kepalanya.
"Yang mana?" balas Maruta.
"Tentang kesengajaan dan ketidaksengajaan, tentang angin yang lain, kegembiraan, bangsawan, juga ... kesopanan yang luhur. Aku nggak ingat jelas." Aeera menatap Maruta lekat. Sedikit banyak, ia masih kesal atas tindakan laki-laki itu beberapa waktu lalu. Menurutnya, Maruta adalah tipikal laki-laki menyebalkan.
Maruta balas menatap Aeera tepat di manik matanya. "Harusnya kamu lebih giat belajar agar paham."
"What? Apa hubungannya?" kesal gadis itu.
"Hati-hati kalau berbicara, Bung." Edsel mengucapkannya dengan santai, tetapi siapa pun pasti tahu bahwa ada nada ancaman yang jelas di sana.
Maruta mengangkat bahu tak peduli. "Aku hanya mengatakan apa yang kutahu. Bagaimana mungkin kalian tidak tahu apa maksudku, sedang yang aku bicarakan adalah diri kalian sendiri?"
Keempatnya diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Laki-laki yang baru mereka temui itu, sama sekali tak tertebak.
"Apa kamu mengenal kami sebelumnya?" Serupa pertanyaan Aeera sebelumnya.
Semua mata kini tertuju pada Nami. Gadis yang sedari tadi diam itu, mengeluarkan kata-kata yang rumit dipahami menurut mereka, kecuali Maruta tentu saja.
Maruta menyandarkan punggung sambil menjentikkan jari. "Yaps, benar sekali. Bisa dibilang, aku sudah memperhatikan kalian beberapa hari terakhir."
"Aku bener-bener nggak paham," sahut Aeera.
"Hati-hati dengan perkataanmu, Nona. Tidak paham dengan belum paham itu berbeda." Maruta memperingatkan. "Nami, sepertinya kamu bisa sedikit menjelaskan pada teman-temanmu."
Kali ini atensi beralih pada gadis Bali tersebut. Mereka bertiga menunggu jawaban Nami. Sungguh, mereka kebingungan menafsirkan perkataan dua orang itu.
Dengan sedikit gugup, Nami menjawab, "Dalam artikel tentang bahasa Jawa yang pernah aku baca, kata maruta berarti angin. Aeera memiliki arti yang sama jika diterjemahkan dari bahasa Sansekerta. Bumantara, kata lain dari semesta. Bangsawan dengan pemikiran cermat, aku rasa itu Edsel. Sedangkan kesopanan dan kelembutan yang luhur, itu arti dari namaku, Namrata."
Edsel, Harsa, dan Aeera mulai mengingat arti nama masing-masing. Benar. Itu semua arti nama mereka.
"Sudah tidak bingung sekarang?" tanya Maruta. Lelaki itu menegakkan kembali punggungnya dan duduk dengan sikap tegap. "Sejak pertama kali mendengar diskusi kalian, aku sudah berniat untuk menyapa, tapi ... aku tidak pernah merencanakan bertemu hari ini dan dengan cara ini."
Tak ada respons. Semuanya masih diam.
Maruta berdecak, lantas berujar, "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di kantin kampus tempo hari. Kebetulan, aku ada acara di sana. Pembicaraan tentang keluarga. Then, I was interested. Hanya sebatas itu."
"Seperti penguntit," celetuk Edsel.
Tawa pecah dari bibir Maruta. Lelaki itu sudah menduga apa yang akan dilontarkan Edsel. Mau bagaimana lagi? Karakter Edsel sudah terbaca jelas di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...