"Jadi, Aeera akan dijodohkan dengan putra teman Ayah itu? Jika Bayu tidak salah ingat, namanya Andaru Al-Farisi, teman Bayu waktu kuliah S1 dulu."
Yahya menghela napas panjang. Jari-jarinya yang saling tertaut terlepas begitu saja. Lelaki itu menatap putra sulungnya lekat.
Ketiganya—tanpa Aeera yang memilih menenangkan diri di kamar—tengah duduk di sofa ruang keluarga. Suasana canggung dan tegang berbaur jadi satu. Momen yang seharusnya digunakan untuk melepas rindu itu, justru lebih seperti pengadilan.
"Sebelumnya, Bayu minta maaf karena tidak mengabari kalau mau pulang. Niat Bayu ingin memberi kejutan untuk semuanya. Terutama Aeera yang dari bulan lalu sudah merengek, tapi justru Bayu yang dapat kejutan. Jadi, apa jawabannya, Yah, Ma?" Lelaki yang belum melepas jaketnya itu menautkan kedua alis. Raut kecewa belum luntur dari wajahnya.
"Sebulan lalu keluarga Andaru datang menawarkan perjodohan itu, Bayu. Mama dan Ayah merasa tidak memiliki alasan untuk menolak. Mereka keluarga baik-baik dengan nashab yang jelas. Begitu pun dengan harta, rupa, juga agama yang sudah diatur dalam Islam sebagai kriteria memilih pasangan." Lubna menjelaskan dengan nada tenangnya. Perempuan itu sudah menghapus air mata yang sempat jatuh.
Bayu mengusap wajahnya yang tampak sangat lelah. Mata lelaki itu memerah. Perjalanan Maroko ke Jakarta bukan perjalanan yang singkat.
"Bayu paham, Ma. Jika dilihat secara sekilas, Aeera dan Andaru memang sekufu', terlepas dari Aeera yang masih belum mengenakan jilbab." Bayu beralih memandang ayahnya dan menghela napas sekali lagi. Masih tak percaya rasanya lelaki yang sangat dihormatinya itu, sampai bermain tangan.
"Kembali lagi, tanpa sepengetahuan Aeera, keputusan Ayah dan Mama ini salah. Terlebih, ini menyangkut masa depan Aeera, yang akan menjalaninya pun Aeera."
Cangkir kopi di hadapan Yahya baru saja tandas isinya. Berbicara dengan anak gadisnya sudah membuat berpikir keras, ditambah dengan Bayu.
"Semua orang tua, termasuk Ayah tidak mungkin membuat anaknya berada dalam kesulitan hidup. Begitu pun dengan memilihkan pasangan, Ayah tidak akan main-main dan asal melakukannya, Bayu. Lagi pula, Aeera itu keras kepala. Dia membutuhkan seseorang seperti Andaru yang bisa mengimbangi."
Bayu terkekeh pelan. Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi pernyataan Yahya sedikit lucu baginya. "Apa memaksakan kehendak itu bukan bagian dari membuat anak berada dalam kesulitan hidup? Sudah cukup, Yah. Biar Bayu saja yang tidak bisa memilih apa pun, selain kuliah ke Maroko. Biarkan Aeera menentukan jalan hidup sendiri."
Yahya dibuat tertohok akan ucapan sang putra sulung. Ia mulai berpikir, apa memang seegois itu dirinya terhadap putra dan putrinya?
"Bayu tahu tanggung jawab Ayah terhadap Aeera sangat besar, terlebih dia anak perempuan, tapi Bayu mohon, jangan paksakan apa pun. Ayah hanya perlu percaya pada Aeera dan memastikan bahwa dia tidak menyalahi aturan."
Lubna berkaca-kaca, lagi. Ia tahu bahwa kedua anaknya itu saling menyayangi. Ia juga tidak bisa menyangkal bahwa darah pemberontak serta keras kepala Yahya menurun pada mereka.
"Ayah tidak bisa menghentikan perjodohan itu." Pandangan Yahya lurus ke depan. Tidak ada ekspresi apa pun yang ditunjukkannya. Lelaki itu memilih mengeraskan hati sekali lagi, tak ingin terpengaruh oleh ucapan Bayu.
Bayu mengambil amplop Aeera yang sedari tadi sudah berada di atas meja. Ia membaca isinya. "Surat rekomendasi ini, Bayu tahu. Aeera selalu tanya banyak hal mengenai itu saat masih kelas dua belas dulu. Katanya, dia ingin jauh dari rumah untuk mencari pengalaman, tapi dia tidak mau membuat Mama sedih dan kesepian."
Dipandangnya Lubna dengan sorot sayu. Lelaki itu benar-benar berharap bahwa sang adik tidak mengalami hal serupa dengannya. Ia ingin Aeera memiliki kebebasan memilih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...