29. Awal dan Akhir Keagnostikan (Ending)

357 87 8
                                    

"Aeera belum makan dari kemarin."

Harsa berdecak keras mendengar penjelasan Edsel. Sekarang, ketiganya tengah menunggu Aeera yang masih pingsan. Bukan hanya mereka bertiga, tetapi juga ada Lira yang masih memberi rangsangan bau agar gadis tersebut segera siuman.

"Har, kamu sudah menemui papa kamu?" tanya Lira lembut pada sahabat anaknya itu.

Harsa mengangguk. "Sudah, Tan, tadi di bawah."

"Sel, kakaknya belum juga ada kabar?" tanya Lira.

Harsa terkejut. Kak Bayu belum tahu?

"Sama sekali, Ma. Kak Bayu nggak bisa dihubungi. Beberapa saat lalu sempet nyambung, tapi nggak diangkat," jelas Edsel.

Harsa menautkan kedua alisnya. Itu sedikit aneh. "Kamu nggak coba hubungi pakai ponselnya Aeera?"

Edsel dan Nami saling pandang. Sepertinya, mereka lupa memberitahukan yang satu itu.

"Kamu aja kesulitan hubungi Aeera ke nomornya, kan? Ponsel Aeera hancur. Kayaknya, dibanting sama Banyu."

"Aeera siuman," ujar Lira.

Edsel, Harsa, dan Nami segera mendekati ranjang.

Aeera membuka matanya perlahan. Hal pertama yang gadis itu lihat adalah wajah Lira, mamanya Edsel. "Tante kenapa ada di sini? Aeera nggak apa-apa, Tan." Senyum tipis dilayangkan gadis itu ke arah Lira.

Lira sendiri mengelus pelan kepala Aeera serta membantu saat gadis itu berusaha beranjak dari posisi berbaring. Punggungnya disandarkan pada kepala ranjang.

"Aku nggak apa-apa." Ucapan Aeera hanya sugesti untuk dirinya sendiri. Padahal, air matanya mengalir tanpa terkendali. "Keinginan aku terkabul, kan, Sel? Kemarin, aku berharap agar Mama dan Ayah nggak tahu sama sekali tentang keadaan aku. Ternyata bener. Mereka nggak akan tahu. Setelah ini juga nggak akan ada yang ngatur-ngatur hidup aku. Aku bebas. Masalah aku tinggal Kak Bayu."

Nami terisak pelan. Sementara yang lain, hanya bisa bungkam.

Detik demi detik berlalu. Suara di lantai satu rumah Aeera semakin riuh. Lebih banyak orang datang bersamaan dengan kedatangan jenazah dari rumah sakit terkait.

"Ra, ayo ke bawah. Setidaknya, kamu harus mengantar kepergian orang tua kamu untuk terakhir kalinya. Doakan agar mereka tenang di sana," bujuk Lira.

Aeera memandang hampa ke arah Edsel. Ia teringat dengan perdebatan terakhirnya dengan lelaki itu. "Aku di sini aja. Kalian yang ke bawah. Aku juga nggak akan berdoa, apa pun bentuknya."

Lira tertegun, sementara Edsel menghela napas panjang. Lelaki itu memejamkan mata beberapa saat, berusaha menghindari tatapan menuntut penjelasan dari mamanya.

"Tante, biar Harsa yang bicara sama Aeera. Tante ke bawah dulu saja." Harsa mengangguk sekali ke arah perempuan paruh baya itu, meyakinkannya.

Setelah beranjak, tersisa Harsa dan Aeera saja. Edsel dan Nami ikut turun, memberi sambutan terakhir pada Yahya juga Lubna.

"Aeera." Lelaki itu duduk di sisi ranjang. "Aku tahu perasaan kamu. Meski hanya kehilangan sosok ibu, aku paham bagaimana rasanya. Menyakitkan. Apa lagi, yang kamu alami sekarang ini."

Aeera memandang Harsa dengan sendu. Tangannya menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di sisi wajahnya.

"Aku nggak bisa memaksakan apa pun terhadap kamu. Marah? Nggak. Aku nggak pernah marah sama kamu, aku cuma kecewa. Apa lagi, perihal goyahnya kamu. Satu hal yang aku sadari, aku nggak punya hak. Pilihan ada di tangan kamu."

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang