Harsa dan Edsel berjalan santai di koridor kampus. Mereka baru saja keluar dari ruang dosen yang sama setelah mengumpulkan tugas makalah teman sekelas mereka. Entah kebetulan atau memang disengaja, dua bersahabat itu adalah penanggungjawab di kelas masing-masing.
"By the way, sejak kapan kamu punya urusan sama Maruta?" Sebelah tangan Edsel meraih ponsel di saku jeans. Ia ingin melihat jadwalnya setelah ini.
"Urusan apa? Aku nggak punya urusan sama dia," jawab Harsa tanpa menoleh sedikit pun.
Keduanya sudah menginjakkan kaki di pelataran kantin Fakultas Psikologi. Namun, mereka belum melihat keberadaan Aeera.
"Ya, masalah semalam. Dia bisa hubungi kamu dan sebaliknya. Aku yakin kamu juga sempat chat Ruta masalah pembicaraan kita. Lebih tepatnya, menceritakan." Mata Edsel menyapu seluruh bangku kantin. Tepat di bangku pojok, ia melihat Aeera tengah menyedot minumannya ditemani dua lelaki yang membelakangi mereka.
"Waktu aku ke perpus tempo hari, pagi-pagi, nggak sengaja ketemu sama dia. Akhirnya tukeran nomor dengan sebuah persetujuan mengenai Aeera." Harsa melangkah meninggalkan Edsel yang speechless di tempatnya. Ia terkikik kecil karena telah membuat temannya itu penasaran.
Edsel memutar bola matanya malas. Kembali tersadar, lelaki itu segera menghampiri Aeera dan yang lain. Ia juga agak terkejut karena mendapati Aeera bersama dua orang pemuda yang salah satunya membawa sebuah gitar.
Senyum santai tersungging di bibir Maruta saat menyambut kedatangan Harsa dan Edsel.
Aeera sendiri masih santai menikmati makanannya. Ia tak merasa perlu untuk melemparkan sapaan pada Harsa atau pun Edsel yang baru beberapa saat bertemu.
Harsa mengambil tempat duduk di samping Aeera, sementara Edsel menarik kursi lain.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Edsel pada Maruta.
"Undangan pensi anak teknik." Yasfi menjawab pertanyaan tersebut saat mendapati Maruta tak kunjung menjawab. "Oh, iya. Kenalin, nama gue Yasfi. Temen satu tongkrongannya Ruta."
Edsel mengangguk paham. "Aku Edsel dan itu ...." Ia menunjuk Harsa. "Harsa."
Belum sempat berbincang banyak, ponsel Aeera berdering. Sebuah panggilan masuk dari Yahya. Tanpa pikir panjang, perempuan itu menggeser ikon telepon berwarna hijau.
Keempat lelaki di sekeliling Aeera memutuskan bungkam untuk memberi gadis tersebut ruang.
"Assalamu'alaikum. Tiga missed call dari kamu. Ada apa, Ra?" Nada khawatir jelas tertangkap di indera pendengaran Aeera.
"Wa'alaikumussalam. Ada hal serius yang perlu Aeera bicarain sama Ayah. Kali ini, Aeera harap Ayah mengerti dan mau mendengar apa yang Aeera katakan." Raut tegas tampak pada ekspresi gadis itu. Niatnya untuk menyelasaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan Andaru benar-benar bulat. Ini menyangkut teman-temannya.
Maruta sendiri terlihat terkejut mendengar penuturan Aeera pada orang di seberang. Ia pikir, gadis itu akan mendengar ucapannya dan membatalkan niat untuk mengadu, tetapi tidak. Aeera Sedayu hanya menjedanya.
Harsa dan Edsel yang baru bergabung, dibuat kebingungan atas sikap Aeera yang jelas tengah menahan emosi. Perubahan ekspresinya dari biasa saja sampai ke mode serius sangat cepat.
"Kenapa?" Harsa hanya menggerakkan bibir, takut menimbulkan suara yang akan mengganggu gadis itu. Maruta yang ditanya justru mulai berpikir. Apa yang kiranya harus ia lakukan untuk menghentikan Aeera?
"Tentang apa? Perjodohan kamu lagi? Keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat, Ra."
"Sayangnya, memang tentang itu, Yah. Aeera yakin Ayah paham bagaimana watak Aeera. Ini bukan ancaman atau mencoba berlaku tidak sopan, tapi yang benar, harus tetap pada hak yang benar." Pandangannya menyapu keempat lelaki itu bergantian. "Andaru nggak pantas Ayah pertahankan sejauh ini."
Edsel dan Harsa membulatkan mata. Baru kali ini Aeera setegas itu. Biasanya, masih ada nada sindiran yang terdengar. Mereka berdua yakin, setelah ini akan ada masalah serius antara anak dan ayah itu. Entah bagaimana bentuk perdebatannya, yang pasti, Aeera tidak akan mengalah. Perempuan itu terlalu keras kepala jika merasa benar.
"Kenapa lagi, Aeera?" Embusan napas tertangkap indera pendengar gadis itu. "Andaru itu pilihan yang terbaik. Ayah yakin dia pasti bisa membimbing kamu."
"Bisa membimbing ke mana, Yah? Fanatisme?" Tatapan mata Aeera menajam. Ia seakan tak peduli dengan sekelilingnya. "Enam dari sudut pandangku bisa jadi sembilan dari sudut pandang sebaliknya. Terbaik bagi tersangka bisa jadi neraka untuk korban. Bukan maksud Aeera untuk lancang, tapi sudut pandang Ayah itu bisa membunuh orang lain jika dipaksakan."
Entahlah, Maruta tersenyum mendengarnya. Ia mulai bisa mengontrol diri untuk terlihat tenang, berbeda dengan Yasfi yang memasang wajah takjub.
Edsel meringis pelan sambil menggaruk kepala belakangnya. Beberapa saat kemudian, lelaki itu menghela napas panjang.
Di samping Aeera, Harsa menaikkan sebelah alisnya tinggi-tinggi. Ia menunggu kalimat yang akan gadis itu lontarkan setelahnya. Namun, Aeera diam dan memejamkan mata. Ia yakin bahwa sohibnya itu tengah mati-matian menahan diri agar tidak lepas kendali.
"Nanti kita lanjutkan di rumah, Yah. Sementara hanya itu. Percuma juga tanpa tatap muka. Ayah nggak akan lihat bagaimana Aeera berekspresi. Padahal itu tujuannya, agar Ayah tahu seberapa muak Aeera pada perjodohan konyol itu. Assalamu'alaikum."
Gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar. Napasnya memburu. Ia terlanjur terpancing oleh ucapan Yahya. Perlahan, kedua tangan Aeera mengarah ke atas kepala. Jari-jari lentiknya terselip pada rambut dan mulai menjambak pelan surai hitam itu.
Kali ini Maruta dan Yasfi sama-sama terkejut. Terlebih Yasfi. Ini hari pertamanya bertemu gadis itu dan kepalanya sudah dijejali berbagai macam informasi. Sungguh luar biasa. Kedua lelaki itu berpikir, apa Aeera memang setertekan itu?
"Ra, lepas jambakan kamu sekarang juga." Harsa menekan setiap kata yang diucapkannya. Suara lelaki itu berubah dingin dan menyeramkan. Namun, Aeera tak menghiraukan. "Lepas atau kamu akan melihat aku melanggar batasanku sendiri?"
Edsel mulai bergidik mendengar keseriusan di nada bicara Harsa. Hal ini bukan pertama kalinya, tetapi tetap saja, Harsa dan kemarahannya bukan hal bagus.
Aeera masih memejamkan mata. Ia seakan tak mendengar apa pun di sekitar, yang gadis itu lakukan hanya terus menjambak rambutnya sendiri.
Semua mata di kantin beralih ke arah mereka berlima setelah Harsa menggebrak meja dengan keras. Ia tak peduli, yang terpenting adalah Aeera berhenti melukai dirinya sendiri.
Maruta tetap tenang dengan Yasfi dan Edsel yang justru ikut terkejut seperti pengunjung lain. Refleks pula, Aeera melepaskan tangannya. Ia sama sekali tak menoleh pada Harsa.
"Puas?" sentak Harsa.
Edsel memberi kode pada Harsa untuk tenag, tetapi tak dihiraukan. Lelaki itu sampai menepuk jidatnya sendiri. Menoleh pada Maruta yang tetap tenang, ia berharap sesuatu, pertolongan. Namun, Maruta hanya mengangkat kedua bahunya.
"Kita selesaiin pelan-pelan, Ra. Jangan gegabah. Kami pasti bakal bantu kamu. Aku nggak tahu apa yang buat kamu setertekan ini sekarang, tapi yang pasti, aku mohon—" Harsa melembutkan suaranya. "Jangan berlebihan."
Aeera seketika beranjak dari duduk. Ia meraih totebag, lantas pergi tanpa ucapan apa pun.
"Aeera hanya perlu berpikir. Biarkan saja." Maruta tersenyum tipis. Ia ikut beranjak dan mengambil sesuatu dari atas meja. "Yasfi, aku pergi dulu dan untuk kalian berdua, ponsel Aaera aku bawa."
Edsel dan Harsa tak menanggapi apa pun. Mereka membiarkan Ruta membawa ponsel Aeera tanpa protes. Lagi pula, benda pipih itu akan aman di tangan Maruta.
Di sisi lain, Ruta merasa ada getaran pada ponsel Aeera. Sebuah pesan masuk. Ia tak membukanya, hanya saja, pesan itu terbaca lewat notifikasi.
|Assalamu'alaikum, Aeera. Ayah menyuruhku untuk menjemputmu. Jadi, jangan pulang bersama teman-temanmu itu. Syukron.
-o0o-
Enjoy aja deh. Gatau mau ngomong apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...