Di sebuah gazebo yang terbuat dari bambu, Nami duduk seraya memandangi langit malam penuh polusi Kota Metropolitan. Gazebo yang terletak di pekarangan indekos itu, sengaja didirikan oleh pemiliknya sebagai fasilitas tambahan.
Nami pun hanya mengenakan kaos rumahan lengan pendek dipadukan celana dengan panjang tepat di bawah lutut. Di sampingnya terdapat sebuah buku catatan bersampul hitam, lengkap dengan pena di atasnya.
Perempuan itu menghela napas panjang. Matanya dipejamkan sejenak. Langit yang sedari tadi tertangkap netranya, diabaikan begitu saja. Potongan-potongan adegan seketika berkelebat dalam pikiran Nami. Betapa peduli dan protective-nya Harsa pada Aeera, begitu juga Edsel yang seperti orang kesetanan mendengar ada yang tidak beres pada gadis itu.
"Apa aku pantas mendapat apa yang didapatkan Aeera?" Tawa miris keluar dari bibirnya. Masih dengan mata terpejam, Nami menggigit bibir bawahnya keras-keras. Seketika, rasa besi bercampur dengan ludahnya.
"Namrata!" sentak Ziona yang baru saja menghampirinya.
Dengan cepat, Nami membuka mata dan menatap perempuan itu nyalang. Bukan karena marah, melainkan karena keterkejutannya.
"Mikirin apa, Nam?" Zie menjatuhkan bokongnya di samping Nami setelah menggeser buku menjauh. "Sampai sengaja gigit bibir sendiri pula."
Gadis itu hanya menggeleng pelan hingga rambutnya sedikit bergoyang.
"Kalau aku tebak, pasti hubungannya sama kepercayaan diri lagi." Ziona mengerling jahil ke arah Nami sambil menelengkan kepala.
"Em ... mungkin," jawab Nami ragu, "Mbak, aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa kamu selalu nanya kalau mau nanya?" Lagi-lagi mata Zie memicing.
Namrata menunjukkan senyum kecil dan mengangguk. "Apa semua orang punya hak yang sama?"
Bukan jawaban langsung yang diterima Nami, melainkan kekehan keras dari bibir pucat Ziona. "Apa tujuan dari pertanyaan kamu?"
Sekali lagi, Nami menghela napas panjang. Ia sudah menduga bahwa Ziona akan bertanya demikian.
"Hanya ingin tahu pendapat Mbak Ziona."
"Aslinya, aku nggak percaya sama alasan kamu, sih, tapi aku bakal tetep jawab. Anggap aja ini diskusi malam kita." Zie menyangga tubuhnya dengan kedua tangan. "Kamu ingat kata-kata aku bahwa setiap orang punya porsinya masing-masing? Ini juga berlaku pada hak dan kewajiban. Kamu nggak bisa menyamakan hak antara satu orang dengan yang lain karena kewajiban mereka pun berbeda. Kamu tentu nggak bisa menyamakan monyet dan ikan dalam hal berenang dan memanjat pohon, kan?"
Nami mengangguk mafhum. Ia paham betul konsep tersebut dalam dunia pendidikan, tetapi tidak dalam hal hak. Bukankah setiap warga negara punya hak dan kewajiban yang sama? Lantas, apa yang membuat mereka memiliki porsi masing-masing?
"Sebenarnya kamu paham konsep ini, Nami. Anggap saja begini. Kenapa gaji buruh lebih rendah daripada dokter, padahal jika dilihat sekilas, pekerjaan buruh lebih berat? Tanggung jawab, modal, dan usahanya berbeda. Modal menjadi dokter nggak sedikit, usaha menuju ke sana membutuhkan paling nggak tujuh tahun di bangku perkuliahan. Tanggung jawab dokter atas pasiennya lebih besar. Nyawa. Bagaimana hak mereka dalam hal banyaknya gaji bisa disamakan?"
Nami termenung. Sama dan adil adalah dua hal yang berbeda, tetapi ia masih mempunyai penyangkalan atas itu.
"Bagaimana jika itu ... dalam hal berteman?"
Ziona menyeringai tipis. Ia mulai mengerti apa yang dipikirkan gadis itu. Sebelum kembali mengeluarkan pernyataan, Zie mengikat rambutnya yang tadi terurai dengan karet kecil yang melingkar di jari kelingkingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...