19. Jawaban dan Kejutan

273 84 6
                                    

Suasana mobil sangat hening. Radio pun sama sekali tak diputar oleh pengendaranya. Hanya ada suara klakson yang sesekali terdengar dari pengendara lain saat mencoba menyalip.

Tiba di persimpangan, mobil silver dengan dua penumpang tersebut berhenti. Lampu jalan tengah menunjukkan warna merahnya.

"Kenapa ngadep ke jendela luar terus? Nggak ada yang mau diomongin sama Kakak?"

Aeera yang duduk di bangku samping kemudi, menoleh. Dipandangnya wajah Bayu dengan saksama, tanpa suara.

"Ngomong apa? Nanyain apa yang Kakak omongin sama Ayah kemarin? Aeera males." Gadis itu kembali menghadap jalanan bersamaan dengan lampu lalu lintas yang berubah hijau.

Bayu sangat paham bagaimana perasaan adiknya itu. Bagaimanapun, pernikahan bukan hal seperti pendidikan yang bisa dipaksakan oleh kedua orang tuanya. Terlalu kompleks. Apa lagi, ini menyangkut ikatan seumur hidup.

Menghela napas sekali, Bayu berujar, "Tumben nggak pegang ponsel. Biasanya, nggak bisa lepas."

"Nggak tahu. Hilang. Paling juga ketinggalan di kantin, terus disimpan sama Edsel atau Harsa." Aeera mengatakannya tanpa beban. Jika benar ponselnya berada di tangan sahabatnya, tidak akan ada masalah, bukan?

Kali ini Bayu memilih diam. Ia paham kondisi hati adiknya sedang kacau.

Sampai di kampus, Aeera turun dari mobil disusul kakaknya. "Ngapain Kakak ikut turun?"

"Nggak boleh?" Kedua alis Bayu tertaut. Lelaki berusia 24 tahun itu mengulurkan tangan kanannya pada Aeera, agar disalami gadis itu.

Setelah melakukan kebiasaan yang sudah tidak mereka lakukan selama kurang lebih tiga tahun itu, Bayu mengelus sayang kepala Aeera.

"Kakak bakal bantu sebisanya, Ra."

"Aeera nggak berharap banyak. Berharap pada manusia sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Lagi pula, Ayah bukan orang yang mudah luluh begitu aja, meski dengan ancaman." Aeera mengatakannya dengan datar dan bersamaan dengan Harsa yang menghampirinya keduanya.

Bayu mengerutkan kening. Ia tidak tahu siapa pemuda di hadapannya.

"Pagi, Harsa." Aeera tersenyum tipis dan beralih pada Bayu. "Oh, iya. Kak, ini Harsa, teman yang sering aku ceritain selain Edsel."

Harsa mengangguk sopan sambil tersenyum. Ia menjabat tangan Bayu layaknya teman lama yang baru bertemu. Tak ada keraguan saat bersalaman dengan lelaki tersebut.

"Pagi, Kak. Salam kenal."

Bayu balas tersenyum. "Dia sering cerita tentang kamu dan ...." Bayu berusaha mengingat satu nama lain. "Ah, iya. Edsel."

Aeera memandang kedua lelaki itu bergantian. Tak ada kecanggungan sama sekali. Sungguh, temannya itu sangat pintar mencari perhatian.

"Aeera nggak pernah mencari masalah, bukan?" Bayu melirik Aeera dengan jail, dibalasi delikan tajam dari gadis itu. "Dia lumayan ... hiperaktif otaknya."

Kali ini Aeera benar-benar dibuat menganga atas kalimat Bayu baru saja.

Harsa terkikik kecil. Ternyata, lelaki itu sangat memahami adiknya, Aeera.

"Aeera nggak pernah cari masalah. Paling cuma, dosen dibuat darah tinggi karena pertanyaan dan statement yang sering dilontarkan Aeera sewaktu sesi tanya jawab di kelas."

Bayu terkekeh lumayan keras. Ia sudah menduga Aeera akan melakukan hal itu. Pikiran gadis itu terlalu bebas. Baginya, teori saja tidak cukup bila tidak ada bukti konkret. Ia bahkan sering mencari perumpamaan untuk setiap teorinya sendiri. Mau bagaimana lagi? Bacaan gadis itu sudah setingkat buku Fihi Ma Fihi dan Semesta Ruba'iyat saat baru menginjak bangku kelas tujuh SMP.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang