13. Penampilan

335 84 6
                                    

"Tadi ngobrolin apa sama Harsa, Nam?"

Aeera dan Nami tengah bersantai di kursi balkon rumah Edsel. Sementara si empu rumah dan Harsa entah berada di mana. Balkon tersebut menghadap ke jalanan, memudahkan siapa pun yang berada di sana menyaksikan kendaraan pribadi yang sesekali lewat.

Perlahan, Aeera menyesap teh yang asapnya masih mengepul. Lumayan untuk menghangatkan tubuh karena cuaca malam cukup dingin.

"Hanya obrolan ringan, Ra." Senyum mengembang di bibir Nami.

Aeera berdiri dan mendekati pembatas balkon. Tubuhnya dicondongkan ke depan dengan kedua tangan bertumpu pada teralis besi. Mata gadis itu menyipit melihat pemandangan yang tersaji di bawah sana, tepat di depan gerbang rumah depan.

"Nam, itu Edsel apa bukan?"

Nami mengernyitkan dahi dalam-dalam. Tanpa suara, ia menyusul dan berdiri tepat di samping Aeera. Pandangannya ikut fokus ke arah yang dimaksud temannya itu. "Dia sedang bicara dengan siapa itu, Ra?"

Aeera menoleh ke arah Nami dengan cepat dan berujar, "Beneran Edsel, kan?"

Nami mengangguk. Keduanya lantas memperhatikan Edsel lamat-lamat. Lelaki itu tengah berbincang dengan seorang perempuan. Namun, tak satu pun dari Aeera atau Nami yang mengenalnya.

"Kalian ngapain?"

Aeera dan Nami sama-sama terkejut mendengar Harsa. Mereka menoleh ke belakang dan sama-sama melemparkan pandangan menusuk pada lelaki itu, meskipun dengan intensitas yang berbeda.

"Itu yang diajak ngobrol sama Edsel, siapa?" tanya Aeera.

Harsa mendekat pada teralis bakon dan ikut mengamati Edsel di bawah sana.

"Perempuan bercadar," sambung Nami.

"Oh, Edsel belum cerita ke kalian? Itu Embun. Cewek yang disukai Edsel dan kebetulan jadi tetangganya sejak beberapa hari terakhir." Harsa mengucapkannya tanpa beban. Ia beralih pada kursi yang tadi diduduki Nami.

Aeera kembali duduk dan membiarkan Nami berdiri dengan menyandarkan punggung di pembatas yang cukup tinggi itu.

"Kok dia nggak cerita ke aku?" Aeera membuat gebrakan kecil di meja bundar yang berada di antara kursinya dengan Harsa.

"Belum cerita, bukan berarti nggak cerita," ralat lelaki itu.

Nami sendiri, kembali berbalik badan hingga bisa melihat kegiatan Edsel dari balik kacamatanya. Meskipun ia tak bisa mendengar perbincangan kedua orang tersebut, tetapi Nami melihat dengan jelas interaksi yang terjalin. Embun yang terkesan enggan tampak sering menengok ke belakang, ke arah rumahnya. Sementara itu, Edsel justru terlihat senang dan sesekali mencondongkan tubuh, jelas sekali jika lelaki itu tertarik dengan sang lawan bicara.

"Har, Nam." Aeera menginterupsi. "Menurut kalian, Embun itu orang yang seperti apa?"

Sembari menaikkan sebelah alis tinggi, Harsa berkata, "Kamu ngajak kita bergosip?"

Aeera membuka sedikit mulutnya degan ekspresi kesal yang jelas kentara. Kedua alisnya bertaut. Tak lama kemudian, ia mengacak rambut pelan seperti orang frustrasi. Di tempatnya, Nami justru terkikik kecil mendengar perkataan Harsa yang kelewat jujur dan tepat sasaran.

"Aku nggak ada niat gosip sama sekali. Aku ngajak kalian diskusi."

"Mendiskusikan orang lain memang sama saja dengan bergosip, Aeera," sahut Nami.

Aeera memandang Harsa dan Nami bergantian. Setelahnya, gadis itu mengembuskan napas panjang sambil menggeleng beberapa kali. "Kompak banget kalau mau bully aku."

Harsa tampak tak peduli. Ia duduk dengan nyaman tanpa merasa terganggu sedikit pun. Reaksi Aeera yang semacam itu sudah seperti hiburan tersendiri baginya.

"Oke, begini, deh. Aku nggak menunjuk Embun atau siapa pun. Ini secara universal. Bagaimana pendapat kalian tentang penampilan perempuan either tertutup atau nggak?"

Harsa berdiri dan merentangkan tangan untuk meregangkan otot, serta menikmati embusan angin malam dengan lebih leluasa. Ia yakin bahwa Aeera tengah mode serius. Jadi, tak ada salahnya mempersiapkan diri sebelum berargumen.

"Nam, duduk, gih!" perintah Harsa sambil menunjuk kursi dengan dagunya.

"Kamu?" Nami menunjukkan ekspresi terkejut. Namun, tidak bagi Aeera yang memang paham tabiat Harsa.

Tanpa menjawab apa pun, lelaki itu duduk lesehan di lantai marmer dengan posisi bersila. Hal itu cukup untuk merespons pertanyaan Nami.

"Dari aku dulu, boleh?" Nami mengajukan diri setelah menuruti perkataan Harsa untuk duduk.

Aeera mengangguk.

Perempuan itu menghela napas, lantas mulai berujar, "Perempuan itu dasarnya makhluk yang cukup rumit. Terlepas dia beragama apa, tapi perempuan memang dituntut untuk bisa menjaga dirinya sendiri serta mengikuti trend fashion yang sedang berkembang. Kenapa aku bilang dituntut, karena tanpa sadar, perempuan sudah seperti barang komoditas untuk kaum lelaki. Maaf, Harsa, ini hanya pengandaian yang memang harus melibatkan kaummu."

Harsa menggeleng. Ia merubah posisinya menjadi duduk selonjor dengan kedua tangan menumpu ke belakang. "Lanjutkan."

"Konsep berpenampilan seorang perempuan seakan sudah terdoktrin oleh modernisasi. Ada model baru, harus ikut. Ada trend baru, harus ikut. Tanpa sadar pula, sebagian besar dari kami berpenampilan hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tidak peduli nyaman atau terganggu, selama bisa terlihat cantik di mata orang lain dan bisa menarik perhatian lawan jenis, pasti akan dilakukan."

Aeera mengerutkan dahi. Ia sedikit bingung. Bukan berarti tak memahami apa yang dikatakan Nami, tetapi pembahasan sepertinya terlalu melebar. Beruntung, Nami menyadari gelagat Aeera. Selalu ada tujuan dari setiap argumen yang terlontar dari bibir gadis itu.

"Terkadang, bagaimana cara berpenampilan yang sepatutnya dan trend yang berkembang, saling bertolak belakang. Itu yang sedari tadi aku coba jelaskan. Dua hal itu bisa menjadi kontradiktif bila tidak disikapi dengan pemikiran yang terbuka. Perempuan tidak bermaksud untuk mengumbar dirinya sendiri, mereka hanya ingin terlihat cantik. Namun, mereka lupa bahwa yang sedang mereka lakukan itu, mungkin mengundang bahaya." Nami tersenyum dan bergantian memandang Aeera serta Harsa yang masih terlihat mencerna. "Apa pendapatku membingungkan?"

Harsa menggeleng. Namun, ekspresinya sebaliknya. Ada hal lain yang mempengaruhi pikiran lelaki itu. Pendapat Nami masih terlalu luas baginya, kurang mengerucut.

"Aku paham maksud kamu, tapi jika diibaratkan piramida, apa yang kamu sampaikan itu masih ada di ruang dasar. I mean, you explained it widely, masih secara umum."

Nami mengangguk paham. Merasa tersinggung? Tidak sama sekali. Pendapatnya memang terlalu umum.

"So?" Kini giliran Aeera yang memastikan. Gadis itu melemparkan pandangan penuh harap pada Nami. Ia yakin perempuan itu punya argumen yang menarik jika digali lebih dalam.

"Penampilan tidak bisa menjadi tolak ukur apakah orang itu baik atau tidak. Ada yang berpenampilan tertutup, tetapi berani menyentuh barang-barang terlarang. Ada juga yang berpenampilan terbuka, tetapi menjadi hamba yang taat pada Tuhannya, seperti yang dikatakan Aeera tempo hari. Apa begitu yang kalian ingin dengar? Pendapat itu sudah terlalu biasa, bukan?"

Aeera meringis pelan. Ia menggoyangkan rambut sebahunya dengan menggeleng. "Sebenarnya, aku lebih tertarik dengan konsep perempuan adalah barang komoditas bagi kaum lelaki yang kamu sampaikan tadi. Tentu saja dihubungkan dengan cara berpenampilan."

"Perempuan sebagai komoditas yang dimaksud Nami kaitannya dengan Perempuan dalam Budaya Patriarki oleh Nawal El-Saadawi."

Mereka bertiga menoleh ke arah seseorang yang baru datang.

"Bukan begitu, Namrata?"

-o0o- 

Yok, bisa yok. Perempuan itu bukan barang, bukan objek.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang