24. Resepsi Pernikahan

310 73 8
                                    

Let me start this self-letter with sentences, kamu ada karena ada yang mengadakan. Tanpa ada, tidak akan ada yang namanya ada. Kalimat ambigu yang muncul akibat membaca konsep metafisika, being qua being milik Aristotle beberapa hari terakhir. Tak akan aku hubungkan dengan makna aslinya karena aku juga masih belajar. Salah-salah, aku bisa salah menyampaikan, meski nyatanya, aku juga masih belajar apa itu hakikat salah dan benar.

The reason why I write this self-letter is because aku menemukan banyak pernyataan yang membuatku berpikir bahwa hidup bukan hanya tentang aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Ada saatnya aku harus memahami siapa kamu, terutama memahami siapa aku.

Ada, keberadaan, eksistensi, dan kalimat serupa lainnya. Aku pernah mempertanyakan kenapa aku ada di dunia saat masih duduk di kelas 6 SD. Bagaimana jika aku tidak dilahirkan atau bagaimana perasaan Mama jika yang dilahirkan bukan aku, Edsel Aryanta? Akankah Mama sadar? Kurasa tidak. Lantas, pertanyaan berkembang. Apa Tuhan itu benar ada? Kenapa aku tidak bisa melihatnya? Apa Dia tidak mau menampakkan diri di hadapanku atau memang sengaja membuat diri-Nya tampak misterius?

Aku pernah bertanya pada Mama. Jawabannya, Tuhan telah melakukan penebusan dosa untuk ummat-Nya. Tuhan mengorbankan diri-Nya disalib. Sejak saat itu, pertanyaan baru, muncul. Jika Tuhan sudah tiada, siapa yang saat ini aku sembah? Bukankah yang mati sudah sibuk dengan urusannya sendiri di alam yang berbeda? Pertanyaan-pertanyaan serupa semakin menggantung dan menumpuk. Tak mau lagi bertanya pada Mama, jawabannya sama.

Bertemu dengan Aeera dan Harsa, membuatku menemukan jawaban itu. Mereka mengemukakan konsep itu menurut kitab masing-masing. Aku percaya pada kekristenanku lewat muslim dan seorang penganut Buddha. Luar biasa, bukan? Keyakinan adalah perkara keyakinan. Ada hal yang bisa aku tanyakan, tapi tidak bisa kudapat jawaban logisnya. Konsep metafisika juga cukup membantuku. Dari sini, aku merasa sangat beruntung, aku tidak terperosok dalam apa yang orang-orang sebut dengan kesesatan. Terlebih, bertemu dengan seorang Maruta Syailendra, seorang agnostik yang bahkan paham konsep ketuhanan dalam agamaku, agama Aeera, Harsa, juga perempuan introvert di kelasku, Namrata Rinjani.

By the way, I have little dream, but I am not sure for that. Dalam jajaran koleksi bukuku, ada lumayan banyak Injil yang kudapat dari berbagai belahan negara. Ada satu hal yang ingin aku perdalam, isi Perjanjian Lama.

Juga, jika bisa, aku ingin egois dengan memaksakan diri berharap pada Embun, perempuan bercadar depan rumah itu. Hahahaha. Nasib kita sama, Aeera.

Bangsawan yang luhur,

Edsel Aryanta.

Edsel terkekeh singkat saat menyimpan dokumen itu. Laptop di hadapannya dibiarkan terbuka, sementara pandangannya disapukan ke langit-langit kamar. "Perbedaan yang indah."

Edsel beranjak dan melangkahkan kaki keluar kamar. Tujuannya adalah balkon yang menghadap langsung ke rumah depan. Tangannya bertumpu pada besi pembatas, dengan tubuh sedikit dibungkukkan. Sebuah senyuman tiba-tiba terbit.

"Senyum-senyum sendiri. Gila, Sel?"

Edsel terlonjak mendengar suara mamanya itu. Ia segera menoleh dan menemukan Lira dengan wajah putih karena masker serta baju daster yang biasa perempuan itu kenakan.

"Mama ngagetin banget, deh. Mana ngatain anak sendiri gila pula." Edsel mendekati kursi dan duduk di sana, diikuti oleh Lira. "Mama kenapa belum tidur? Udah jam sebelas malam padahal."

"Tadinya mau ngecek kamu di kamar, eh ... sisa laptop aja. Orangnya ngilang. Ngelamunin cinta tak sampai rupanya." Lira menahan tawa mati-matian agar maskernya tak rusak.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang