"Aeera, kamu nggak mau ke luar kamar? Sudah beberapa hari kamu mengurung diri."
Aeera tetap diam, tanpa merespons ucapan Namrata. Pandangannya kosong menatap luar jendela kamar.
Nami menghela napas panjang. Sejak saat pertengkaran hebatnya dengan Edsel, Aeera menjadi semakin pendiam. Ia menarik diri dari pergaulan. Ia bahkan tidak berangkat ke kampus beberapa hari terakhir, meski kesehatannya sudah pulih.
"Ra, aku mohon, bicara sesuatu," lirih Nami. Gadis itu ikut duduk di ranjang Aeera. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Dari arah pintu kamar, Edsel muncul sambil menenteng sebuah kantong plastik penuh makanan. Lelaki itu berjalan santai sembari menyugar rambut dengan tangannya yang bebas.
"Ra, makan dulu. Kamu belum makan dari pagi, kan?" bujuk Edsel sambil duduk bersila di lantai, tepat di hadapan gadis tersebut. "Nanti, orang tua kamu pulang. Jangan kayak gini, Ra." Nada suara Edsel melembut.
Aeera tetap tak menjawab. Namun, kali ini matanya menyorot Edsel sendu. Ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu, tetapi rasanya begitu sulit. Pada akhirnya, Aeera hanya bisa menjatuhkan air matanya.
Edsel dan Nami sudah biasa menghadapi Aeera yang seperti itu. Mereka berdua hanya bisa diam dan menunggu.
"Sel, aku nggak tahu harus bagaimana. Bagaimana menghadapi Ayah dan Mama? Bagaimana jika mereka tahu keadaanku sekarang?" gumam Aeera yang masih terdengar jelas di telinga Edsel dan Nami.
Edsel meletakkan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri gadis itu. "Kamu nggak sendirian. Ada aku dan Nami. Kami bakal bantu kamu. Iya, kan, Nam?" Edsel melirik pada Nami.
Namrata mengangguk membenarkan. Tangannya masih setia mengelus punggung gadis itu.
"Aku berharap mereka nggak akan tahu." Senyum miris tersungging dari bibir Aeera. Air matanya masih menggenang. "Nggak akan pernah."
Edsel hanya bisa tersenyum sedih sambil mengangguk. "Kamu nggak mau bicara sama Harsa? Dia terus nanyain kamu, Ra."
Aeera menggeleng dan berujar, "Nggak. Aku nggak mau buat Harsa khawatir. Bilang aja aku sibuk."
Perbincangan berakhir. Aeera kembali melamun. Makanan yang dibawa Edsel hanya menjadi pajangan nakas gadis itu. Mereka berdua tidak bisa memaksanya sama sekali.
Keheningan berlangsung sampai maghrib menjelang. Baik Nami maupun Edsel hanya meninggalkan Aeera saat ada keperluan. Selebihnya, mereka hanya bermain ponsel sesekali sambil tetap berusaha mengajak gadis itu berbicara.
"Ra, aku nonton TV, ya," kata Edsel meminta izin. Lelaki itu menghidupkan televisi di kamar Aeera.
"Ayah, Mama," celetuk Aeera tiba-tiba, membuat Edsel dan Nami yang duduk di meja belajar gadis itu menoleh.
"Ada apa, Ra?" Edsel menautkan kedua alisnya. Ia baru sempat memindah beberapa chanel televisi saat Aeera mengucapkan kata itu.
"Ganti ke chanel tujuh." Aeera mendekati Edsel dan mengguncang lengan atas lelaki itu cukup kencang.
Nami beranjak dan ikut duduk di ranjang Aeera.
Sebuah berita terkini. Mendengar beberapa kalimat yang dilontarkan seorang wartawan, ketiganya bungkam. Tanpa sadar, Aeera mengepalkan tangan erat-erat.
"Edsel," lirih Nami, "hubungi Kak Bayu."
Lelaki itu meraih ponselnya serampangan. Tangannya gemetar saat mencari kontak Bayu. Bahkan, beberapa kali ia salah menyentuh ikon saking kalutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...