22. Berani Berbeda

276 79 10
                                    

Pagi-pagi sekali, Aeera sudah mengajak Harsa, Edsel, dan Nami untuk bertemu, tetapi ia baru merealisasikan pada sore harinya di salah satu kedai es krim, seperti sekarang. Meskipun weekend, ketiga teman Aeera itu tetap memiliki kegiatan di tempat ibadah masing-masing.

"Ternyata, semalam keluarga Andaru datang untuk melamar dan nggak seorang pun kasih tahu aku. Justru Maruta tahu akan kedatangan mereka karena kemarin ponselku dipegang dia. As he said, Ruta benar-benar datang untuk ngembaliin ponsel dan kasih kejutan ke aku." Aeera menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku sudah pasrah dengan keputusan Ayah, tapi Ruta berhasil buat Ayah berubah pikiran hanya dengan beberapa kalimat panjang. Andaru udah bukan masalah sekarang."

Edsel menggaruk kepala belakangnya. Bukankah bagus jika perjodohan itu batal? Lantas, apa lagi yang dipermasalahkan Aeera?

"Syukur jika masalahmu sudah selesai. Apa lagi?" tanya Harsa sambil menatap lurus gadis itu.

Suara berdenting terdengar bersamaan dengan Nami yang meletakkan sendok es krimnya.

"Sialnya, pesona pemikiran Maruta bukan hanya berdampak padaku, tapi juga pada Mama, Ayah, dan Kak Bayu. Mereka tertarik pada pribadi Ruta, bahkan Kak Bayu dengan jelas meminta Ruta menggantikan posisi Andaru." Aeera kembali menegakkan tubuh.

Edsel terkikik geli, tak jauh berbeda dengan Nami. "Jadi, langsung mendapat restu, Ra?" goda Nami.

Aeera mendengkus keras. Ia menarik-narik rambut seperti kebiasaannya saat tertekan atau frustrasi."Restu apanya?! Justru kami sekeluarga patah hati secara bersamaan."

Harsa menautkan kedua alisnya. Nami dan Edsel saling pandang, tak mengerti maksud perempuan itu. Mereka sama-sama memikirkan kemungkinan yang ada, tetapi nihil.

"Maksudnya?" tanya Harsa.

"Mengucapkan salam layaknya muslim, bisa salat, paham ajaran dan syari'at Islam, tahu bagaimana hukum-hukun di dalamnya, bahkan sedikit banyak, Ruta mengerti tokoh-tokoh besar Islam. Apa kalian pernah berpikir bahwa orang seperti Maruta adalah seorang penganut agnostik? Murni agnostik dan bukan Budha kayak Harsa."

Harsa tersedak ludahnya sendiri. Sementara Nami dan Edsel terdiam. Mereka tidak tahu harus merespons apa. Apa yang dikatakan Aeera sungguh mengejutkan. Apa lagi, Harsa tahu sedikit banyak tentang pandangan itu.

"Kamu serius?" Edsel masih tidak percaya. Matanya membulat saat memastikan hal tersebut. Bukan jawaban yang ia dapat, melainkan sebuah anggukan mantap dari gadis itu.

"Karena itu juga, entah frustrasi atau apa, yang jelas aku sadar. Aku limpahin keputusan besar ke Ayah."

Harsa menghela napas panjang. Sekarang, gilirannya yang harus berbicara. "Ra, segera batasi kekagumanmu pada Maruta. Cukup posisikan dia layaknya aku juga Edsel. Satu lagi, mungkin, semester depan aku akan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Amerika."

"What?"

-o0o-

Jajaran rak berisi camilan terpampang di sisi kanan dan kiri Nami. Perempuan itu masih memperhatikan dengan saksama apa kiranya makanan ringan yang bisa ia beli tanpa terlalu menguras isi dompet.

Perempuan ber-sweater moka oversize itu masih meneliti harga demi harga camilan yang sengaja dipasang oleh pramuniaga. Tangannya sesekali membenarkan kacamata yang melorot.

"Suka cokelat?" Sebungkus cokelat batang terangsur tepat di depan mata Nami.

Perempuan itu mengerutkan kening sekilas sebelum melihat ke arah seseorang di sampingnya. Seorang lelaki menyandarkan punggungnya ke rak dengan tangan masih memegang cokelat. Tidak benar-benar bersandar, hanya sedikit menyentuhkan punggung sebenarnya.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang