Empat serangkai tengah berada di dalam mobil Edsel. Mereka dalam perjalanan menuju rumah lelaki itu. Sesuai permintaan Lira, Edsel mengajak Harsa, Nami, dan Aeera ke rumahnya. Awalnya, Harsa menolak karena sama sekali belum pulang dari kemarin, tetapi Aeera memaksa.
"Kamu sudah izin buat pulang telat, Ra?" tanya Harsa.
Di sela-sela kursi depan, kepala Aeera melongok. Tangannya bertumpu pada jok yang diduduki Edsel dan Harsa. Ekspresi perempuan itu seperti anak kecil. Mata membulat dengan beberapa kali kerjapan polos.
"Tenang aja, Tante Lira langsung turun tangan minta izin ke Ayah." Aeera kembali duduk tenang di samping Nami yang tengah tersenyum kecil.
Kini giliran Harsa yang menoleh ke arah gadis itu. Satu alisnya dinaikkan. "Kamu udah kenal sama Tante Lira?"
Edsel yang semula fokus ke jalanan dan sesekali mengangguk mengikuti irama musik dari radio, angkat bicara. "Kayak nggak tahu Aeera aja, Har. Dia baru kenal juga udah bisa nemplok dengan gampang."
Sebuah buku melayang dengan cantik di atas kepalanya. Siapa lagi jika bukan Aeera tersangkanya?
"Ra, aku lagi nyetir, jangan ganggu. Ntar ada hal yang nggak diinginkan." Edsel berujar dengan kesal. Ia meraih buku yang tadi dilempar Aeera dari pangkuannya. Lelaki itu meletakkannya di dashboard mobil.
"Maaf, tangan aku suka gatel kalau berhadapan sama manusia mulut cabe kayak kamu," balasnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ia bahkan duduk dengan nyaman seakan tak melakukan apa pun sebelumnya.
Harsa dan Nami geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan keduanya.
"Apa lagi korban cinta beda agama gitu, pantes banget buat ditimpuk." Aeera menunjukkan ekspresi tengilnya. Ia bahkan sempat menjulurkan lidah pada Edsel. Ia yakin lelaki itu bisa melihatnya lewat kaca depan.
Edsel sendiri mati-matian menahan umpatan. Tidak mungkin ia mengumpati Aeera di hadapan Harsa dan Nami. Bisa-bisa, ceramah panjang lebar Harsa yang akan ia dapat.
"Diem aja, Nam. Ikut ngobrol, gih!" kata Aeera.
Lagi-lagi Harsa menoleh ke belakang. Benar juga. Ia belum mendengar suara Nami sejak di parkiran fakultas.
"Ngobrol apa, Ra?" Nami tersenyum ke arah gadis itu. Tangannya meraih sejumput rambut yang jatuh di pelipis dan menyelipkannya ke belakang telinga. "Aku menikmati perbincangan hangat kalian."
Aeera terkekeh singkat menanggapi itu.
"Rumah kamu masih jauh, Sel?" tanya Nami pada akhirnya.
"Enggak, kok. Tinggal sekali belok, terus sampai ke blok rumah aku." Edsel mengucapkannya bersamaan dengan memutar kemudi ke kiri.
Jajaran rumah bergaya minimalis langsung menyambut kedatangan keempatnya. Model rumah-rumah di sana sama, yang membedakan hanya interior taman buatan di masing-masing pekarangan.
Beberapa ratus meter melaju, mobil Edsel berhenti tepat di garasi sebuah rumah. "Sudah sampai. Mama sudah nunggu kalian di dalam."
Layaknya orang yang baru datang ke suatu tempat, Aeera dan Nami celingak-celinguk memandangi eksterior rumah minimalis tersebut. Bedanya, Nami dengan gerakan yang lebih elegan daripada Aeera yang terkesan serampangan.
Tepat saat menginjakkan kaki di dalam rumah, Edsel memanggil Lira dengan sedikit berteriak, "Mama. Anak-anak Mama pulang, nih."
Lira datang dengan tergopoh dari arah dapur. Wanita berdaster moka tersebut masih menenteng sebuah sendok sayur. Rambutnya pun tampak berantakan, sangat jelas jika ia baru saja berkutat dengan peralatan memasak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
Fiksi UmumBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...