21. Semuanya Dipatahkan

282 80 10
                                    

"Jadi, kamu ini teman kuliahnya Aeera, Rut?"

Maruta menggelengkan kepala sekali. Suasana yang tadinya tegang berubah santai karena kedatangan lelaki itu.

"Saya tidak kuliah. Saya hanya tidak sengaja mengenal Aeera setelah mengisi salah satu acara yang diselenggarakan kampus."

Andaru memandang remeh lelaki itu. Tatapannya menusuk. Meski begitu, Maruta tidak ambil pusing. Ia tidak merasa terganggu sama sekali.

"Apa pantas bertamu dengan pakaian seperti itu? Jeans robek-robek dan kemeja lusuh," sergah Fajri, ayah Andaru.

Bayu dan Aeera terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuk Maruta itu. Lubna dan Yahya sendiri hanya diam, menunggu jawaban pemuda yang telah mengganggu acara mereka.

"Apa pantas menanyakan kepantasan seseorang berpakaian di muka umum?" Maruta menjawabnya dengan tenang, tetapi ada sindiran di sana. "Mungkin etika berpakaian saya bermasalah, tetapi bagaimana jika memang hanya ini yang saya punya? Apa saya harus mencuri dulu untuk mendapat pakaian yang pantas? Atau saya harus mengandalkan belas kasihan orang lain?"

Aeera terkikik kecil. Ia tak masalah jika akan dianggap tidak sopan sekarang. Pertanyaan untuk Maruta tadi lebih tidak sopan baginya.

Yahya, Lubna, dan Bayu tertegun. Benar juga apa yang dikatakan pemuda itu.

"Apa kamu tidak diajari sopan santun oleh orang tuamu, Nak? Saya lebih tua daripada kamu. Bagaimana mungkin kamu mengucapkan kalimat semacam itu pada saya?" Fajri berusaha tenang. Kedua sikunya bertumpu pada lutut dengan jari-jari saling tertaut.

"Seperti anak tidak terdidik," timpal Andaru.

Bayu hampir tidak bisa mengontrol diri. Ingin sekali rasanya mengusir satu keluarga di hadapannya. Bagaimana mungkin Aeera diminta hidup dalam keluarga seperti itu? Ayahnya benar-benar keterlaluan jika itu terjadi.

"Fajri, alangkah lebih baiknya kita membicarakan hal lain saja. Maruta ini juga tamuku." Yahya memutuskan bersuara. Ia tidak ingin di rumahnya terjadi pertengkaran.

"Tentu saja tidak bisa. Teman Aeera ini sudah berlaku tidak sopan. Mau jadi apa generasi muda ke depannya jika tidak ada yang mengingatkan?"

Aeera sudah bersiap berdiri dengan wajah memerah menahan marah, tetapi tangannya ditahan oleh Lubna.

"Sejak kecil saya hidup di jalanan, mana mungkin saya diajari sopan santun? Meski begitu, saya tahu kapan dan pada siapa saya harus berlaku sopan, saya belajar dengan baik di sana." Maruta mengangkat dagunya. Pandangan matanya lurus mengarah pada Fajri. "Sekarang, apa boleh saya bertanya, apa Bapak sudah mendidik anak Bapak dengan baik?"

Suasana menegang. Yahya dan Lubna terkejut mendengar tajamnya kalimat Ruta. Begitu juga target pemuda itu, Fajri, yang sudah mengeraskan rahang.

Andaru sudah berdiri dan hampir menerjang Maruta. Kepalan tangan sudah diangkatnya tinggi, seakan lupa di rumah siapa ia tengah menapakkan kaki.

Maruta tetap tenang, bahkan berangsur tenang dari sebelumnya. Senyum tipis tersungging. "Lihat, anak Bapak saja tidak terima saat saya melontarkan pertanyaan yang hampir serupa. Bukankah saya terlampau sabar jika hanya duduk dan bukan mengangkat tinju?"

Lelaki berwajah oriental itu memandang Yahya lekat. Kemudian, ia beralih pada Lubna, Bayu, dan terakhir, Aeera. "Maaf sekali lagi karena saya sudah mengganggu agenda peminangan ini, tapi jujur ... memang itu tujuan saya."

Napas Andaru memburu. Wajahnya sudah semerah tomat, menahan amarah.

"Jangan salahkan Aeera, dia tidak tahu apa-apa. Ini murni rencana saya, Om." Ruta kembali bertatap mata dengan ayah Aeera. "Bukan karena saya memiliki hubungan dengan anak Om, tetapi yang benar harus tetap pada jalan yang benar, bukan benar yang dialihfungsikan untuk membenarkan kefanatikan. Itu bukan kebenaran, melainkan kebodohan."

Semuanya bungkam, antara terkejut dan mencerna ucapan Maruta. Aeera yang sedari tadi diam, mulai mengulas senyum tipis. Kejutan yang sangat luar biasa.

"Tante." Maruta beralih pada Lubna. Ia menunduk sekilas, dengan sebelah tangan di depan dada sebagai rasa hormatnya. "Maruta mohon, jangan biarkan Aeera kehilangan surganya pada Tante karena lebih memilih memberontak. Kehilangan kesempatan untuk berbakti pada sosok ibu karena pilihan, lebih menyakitkan daripada karena kematian."

Lubna mengerjapkan mata. Ia belum sepenuhnya paham dengan kalimat Maruta. "Apa maksudmu, Nak?" lirihnya.

Ruta menggeleng pelan. "Boleh saya mencium punggung tangan Tante? Saya hanya ingin tahu rasanya mencium tangan sosok ibu."

Air mata Lubna luruh. Ia tahu bahwa pemuda itu sangat tulus ketika mengatakannya. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk. Ruta dengan segera merealisasikan keingingannya.

"Jangan biarkan Aeera seperti saya," bisik Ruta yang terdengar jelas di telinga perempuan itu.

Aeera memandang Bayu dengan dahi mengernyit. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Jadi, kita akan tetap melanjutkan perjodohan ini, kan, Yahya?" tanya Fajri. Ia tak peduli dengan suasana yang baru saja tercipta.

Lubna dan Maruta terdiam. Begitu juga dengan Bayu, Aeera, Lidya, dan Andaru. Semuanya menunggu jawaban Yahya. Meski begitu, Aeera sempat berdecak pelan. Ia baru sadar ternyata keluarga di depannya memang setidaktahu diri itu.

Setelah menghela napas sekali, ayah Aeera berujar, "Hal-hal kecil dapat membuat kita terpeleset saat berusaha mengenal hakikat Tuhan. Keterdiaman akan membuat kita menjadi kaum terbelakang, tapi keramaian juga bisa membuat kita lupa akan eksistensi kefanaan. Maruta benar, kebenaran tidak bisa dijadikan tameng untuk membenarkan segala benar yang berujung kefanatikan. Kebenaran memiliki jalannya sendiri, entah itu berdampingan atau justru berbaur dengan keburukan."

Yahya memandang Fajri. Kali ini, dengan sorot mata tajam dan tegas. "Maaf, Fajri. Ternyata benar kata Aeera. Sepertinya, Andaru tidak akan cocok dengan anakku. Terlebih, setelah Andaru mengatakan 'seperti anak tidak terdidik' pada Maruta. Tidak mustahil jika kata-kata itu akan dilontarkannya pada Aeera suatu saat nanti. Apa lagi, asal kamu tahu, Aeera sama tajamnya dengan Ruta dalam berucap, bahkan ia belum konsisten berjilbab. Sekali lagi, maafkan aku. Kebebasan memilih Aeera harus aku dukung kali ini."

Kecewa. Itu yang dirasakan Andaru beserta orang tuanya. Taaruf yang coba mereka jalin selama sebulan, harus berakhir malam ini, karena Maruta, juga takdir.

Bayu dan Lubna saling pandang dengan senyum masing-masing. Maruta bertahan dengan senyum tipis, sementara Aeera masih bertahan dengan ekspresi linglung. Ia seakan tak mempercayai pendengarannya.

Setelah keluarga Andaru pergi, Aeera menubruk dan memberikan pelukan erat pada Yahya. "Terima kasih, Ayah. Aeera nggak tahu harus berkata apa lagi."

Yahya membalas pelukan putrinya dengan sebelah tangan mengelus kepala Aeera. "Terima kasih pada Allah yang sudah menyadarkan Ayah lewat Maruta."

Gadis itu sontak mengucap syukur dalam hati dan menoleh cepat pada Ruta. "Terima kasih."

"Rut, kebetulan kita semua belum salat Isya karena tadi tamu datang sebelum azan. Kamu sudah salat? Kalau belum, mari kita jamaah. Kapan lagi diimami sama Ayah? Suatu saat nanti, gantian kamu yang jadi imamnya Aeera." Bayu terkekeh. Sepertinya, lelaki itu berniat menggoda adiknya sendiri. Seandainya Aeera suka pada Maruta, ia akan sangat mendukung dan memberi restu.

Maruta menggeleng pelan. Senyum lebar tersungging di bibirnya. "Saya bisa salat, tetapi mungkin tidak akan bisa menjadi imam salat bagi siapa pun."

Bayu tertegun. Mungkin, bacaan Qur'an Maruta belum lancar, sehingga ia berkata demikian.

"Ah, tenang. Nanti bisa belajar. Mau sama aku atau sama Ayah?" Bayu menaik turunkan kedua alisnya. Sangat tampak, bukan, jika keluarga itu memandang orang lain sama?

Aeera menekuk wajah kesal. Bukan apa-apa, ia malu pada Maruta. Memang benar, gadis itu mengagumi Maruta, tetapi tidak harus begitu juga.

"Bukan karena itu." Maruta memandang Aeera. Masih dengan senyum di bibirnya, lelaki itu membuat semua orang yang ada di sana kehabisan kata-kata. Baik karena terkejut, tidak percaya, bahkan ... patah hati. "Saya bukan seorang muslim." 

-o0o-

Potek berjamaah. Rasanya sesakit itu emang🐱

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang