11. Ketuhanan

387 88 10
                                    

"Seperti yang kita tahu, ada banyak konsep ketuhanan. Ada yang menganut monoteisme layaknya Islam, Yahudi, dan Kristen. Ada lagi, beberapa ajaran monoteistis juga mengklaim bahwa Tuhan yang disembah semua agama itu sebenarnya sama, seperti filsafat Perennial, beda penyebutan aja. Mengenai yang kamu tanyakan, sebenarnya dalam Budha, kami menolak keberadaan Tuhan Pencipta dan dalam pengaturan alam semesta sendiri, kami percaya bahwa semuanya diatur oleh lima hukum kosmis atau kami menyebutnya sebagai Niyama Dhamma."

Edsel mengerutkan kening. Penjelasan Harsa perlu pemahaman lebih dalam, bukan asal mengatakan paham, tetapi nyatanya nol besar. Baginya, itu sedikit ... rumit.

Jika ditelaah, apa yang diketahui Edsel dan seluruh manusia pun sangat terbatas. Wawasan yang dimilikinya tidak seberapa. Jadi, apa yang perlu disombongkan?

"Jadi, maksud dari nonteis sendiri itu apa, Har? Nggak beragama? Kan ... Budha itu agama, kok nonteis? Apanya yang nonteis? Beneran, deh. Aku belum sepenuhnya paham dan nggak mau salah paham."

Harsa mengambil ponselnya dari atas meja. Ia sedikit beranjak dari duduk dan menyongsongkan ponsel tersebut pada Edsel.

Bersamaan dengan Edsel yang mulai menggulir layar ponsel, Harsa kembali berkata, "Hal mendasar yang perlu kita pahami adalah, konsep ketuhanan dengan konsep agama itu dua hal yang berbeda. Nonteisme dengan teisme itu ada pada satu garis lurus dan yang mendasari ada atau nggaknya agama itu sendiri nantinya. Ini yang sering salah diartikan. Banyak orang berpikir bahwa beragama dengan ber-Tuhan itu sama, padahal nggak."

Kini, pandangan Edsel fokus pada Harsa, tak lagi pada ponsel.

"Nonteisme kalau dijabarkan, akan ada ateisme dan agnostikisme. Sementara teisme, akan menghasilkan banyak konsep lagi. Misal, monoteisme, deisme, panenteisme, dan panteisme. Dalam konsep-konsep di teisme itu tadi, baru akan ada penjabaran tentang agama. Jadi, nonteis itu kaitannya sama sekali bukan ke agama, melainkan ketuhanan, percaya atau nggak percaya pada adanya Tuhan." 

Ternganga, begitulah ekspresi Edsel sekarang. Dibilang tidak paham, ia paham. Namun, dibilang paham, tidak juga. 

"Budha itu agama. Kalau kita nalar, memang seharusnya ada pada jalur teisme, kenapa ada pendapat yang mengatakan bahwa penganut Budha adalah seorang nonteis? Begitu kan, kebingungan kamu?" Pertanyaan Harsa sukses mendapat anggukan dari lelaki yang berada di atas ranjang itu.

"Seperti yang udah aku bilang, bahwa kami para budhist nggak percaya adanya Tuhan Pencipta karena kami meyakini bahwa adanya alam semesta ini karena sains, hukum kosmis. Namun, kami tetap percaya bahwa Tuhan itu ada dengan kekuasaan di luar penciptaan alam semesta itu sendiri. Ini sejalan dengan konsep agnostik. Percaya bahwa Tuhan itu ada, tapi memilih 'katakanlah' abai karena masih ada sains yang bisa menjelaskan. Itu sebabnya kami sering dikategorikan ke dalam nonteis, lebih tepatnya ke agnostik atau ateis lemah."

"Jadi, kamu ini aslinya agnostik?" Dahi Edsel benar-benar berkerut dalam, masih setengah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hal tersebut sukses membuat Harsa terkekeh.

Lelaki yang duduk di kursi belajar Edsel itu mengangguk, lantas menggeleng. Ia tampak ikut bingung sendiri. "Bisa iya, bisa nggak. Kebanyakan para penganut agnostik nggak melakukan ibadah sama sekali karena keraguannya akan Tuhan. Beda sama Budha, kan? Penganut Budha tetap beribadah. Hanya saja, memang nggak bisa menguraikan bagaimana Tuhan itu sendiri. Lebih ke ... it is something that must be believed, nggak semua bisa dibuktikan."

Seketika Edsel meletakkan ponsel Harsa ke atas ranjang begitu saja. Sedikit banyak, ia mulai paham, meskipun masih agak rancu.

Di tempatnya, Harsa hanya diam menikmati raut kebingungan yang masih kentara di wajah sahabatnya itu. Beberapa kali pula lelaki itu menguap lebar. Berpikir membuat kantuknya semakin menjadi.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang