"I am waiting for your opinion, Namrata."
Nami masih terlihat ragu dengan apa yang akan ia katakan. Apa yang Harsa tanyakan, bersifat multitafsir. Ia takut akan ada salah persepsi dalam dirinya sendiri.
"Aku ... ini terlalu berat, Harsa." Nami menatap Harsa dengan perasaan bersalah. "Aku takut dengan pikiranku sendiri."
"Hei, nggak akan ada yang mendiktemu salah atau benar. Ini sifatnya opini, pendapat. Aku bukan sedang mencari sumber pembenaran atau fakta, just your opinion." Harsa mengucapkannya dengan tenang juga lembut. Siapa pun berani bertaruh, perempuan berhati lemah akan cepat jatuh pada pesona charming Harsa. "Jadi?"
Nami menghela napas sejenak, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Dalam pandanganku sendiri, setiap orang memiliki haknya masing-masing dalam hal berkeyakinan. Ini bukan berdasar pada agama yang aku anut atau agama mana pun, hanya pandanganku secara rasional dan emosional."
Nami kembali mengembuskan napas panjang. Apa yang ditanyakan Harsa benar-benar menguras keberaniannya.
"Agama menentukan bagaimana cara penganutnya menyembah Tuhan, bagaimana berperilaku sesuai ajaran-ajaran di dalamnya, bagaimana cara menyelesaikan masalah, juga menginterpretasikan sesuatu. Secara sederhana, agama itu pedoman. Kurasa, tujuan semua agama sama. Menuntun penganutnya pada sedekat-dekatnya posisi dengan Sang Pencipta."
Harsa masih menunggu kelanjutan ucapan Nami. Ia benar-benar tertarik pada topik itu.
"Tiap agama memiliki koridor masing-masing dalam mengatur, memberi arahan, serta pandangan hidup, tapi untuk kasus yang kamu tanyakan ... aku benar-benar tidak paham, Harsa. Aku tidak tahu pandangan orang ateis tentang agama. Mereka berpedoman pada apa atau pada siapa, aku tidak tahu dan tidak mau terlalu jauh melampaui batasku."
Harsa menanggapi Nami dengan senyuman lebar. Meskipun ia tak mendapat apa yang ia inginkan, tetapi ia sadar satu hal. Jawaban Nami adalah jawaban yang bijak dan sudah seharusnya jawabannya seperti itu. Jawaban yang tidak mendikte siapa pun atau pihak mana pun. Itu sudah cukup baginya.
-o0o-
Aeera menekuk ekspresinya. Ia masih kesal dengan Harsa yang kini duduk manis di dalam kelas. Tepatnya, di samping perempuan itu.
Kejengkelan Aeera tak lain dan tak bukan karena perlakuan Harsa padanya pagi tadi, sebelum kelas dimulai. Saat ia mengirim pesan pada lelaki itu dan mendapat balasan tak begitu enak dibaca.
"Masih marah?" Harsa menghadapkan kursinya pada Aeera. Senyum tulus ia tunjukkan pada gadis itu. "Maaf, Aeera. Aku nggak bermaksud bohong sama kamu."
Dosen baru saja keluar beberapa menit lalu. Beberapa mahasiswa belum beranjak dari kursi masing-masing untuk sekadar berbincang mengenai tugas kelompok.
Aeera mendengkus kasar. "Aku belum berangkat ke kampus, Aeera. Ini masih ngobrol sama Papa. Mungkin nanti aku berangkat mepet jam masuk." Perempuan itu mengucapkan kembali rentetan kalimat yang Harsa kirimkan padanya. "Cih! Nyatanya sarapan bareng sama Nami. Kenapa nggak jujur aja, sih?"
Kini giliran Harsa yang menghela napas panjang. Menghadapi emosi Aeera memang menyusahkan, tetapi lebih menyusahkan lagi melepaskan diri dari rasa bersalah karena telah menyakiti gadis itu tanpa sadar. "Ada masalah apa, Aeera?"
Sesuai dugaan Aeera. Lelaki itu tahu apa yang dibutuhkannya. "Kok tahu?"
Harsa terkekeh singkat sebelum berujar, "Aeera yang aku kenal nggak mungkin marah hanya karena masalah pesan. Jadi, ada masalah apa?"
Tanpa disadari, sebulir air mata jatuh dari kelopak mata Aeera. Harsa tak bereaksi apa pun, hanya diam. Bukan karena tidak peduli, tetapi ia tahu bahwa Aeera tidak butuh apa-apa selain ditemani. Perempuan itu terlalu muak dengan kata-kata yang bersifat menenangkan dan hanya menyuruhnya bersabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...