Mengapa kini banyak orang yang suka mengambil alih wewenang-Nya? Menghakimi sesama, menghukumi apa yang sebenarnya ia tidak tahu kebenarannya. Apa mereka makhluk ber-Tuhan? Sedang dalam ajaran-Nya saja, Tuhan tak pernah menyeru perpecahan. Kedamaian abadi ada dalam tiap seruannya, apa pun agama manusia.
Harsa Bumantara Thien
Tulisan itu tak bagus, tetapi cukup rapi. Selesai membaca ulang kalimat-kalimat itu, Harsa menutup buku bersampul khas kertas kuno miliknya. Ditilik lagi jam pada ponsel, pukul sebelas malam. Tak terasa, Harsa sudah duduk di depan meja belajarnya selama lima jam.
Setelah menyelesaikan tugas Biopsikologi tadi, pemuda itu memang sengaja tak langsung beranjak, melainkan kembali memeriksa dan membuat list tentang harapannya esok hari. Beberapa daftar keinginannya sudah terceklis rapi, termasuk memenangkan lomba esai nasional beberapa bulan lalu serta menghasilkan uang sendiri lewat tulisan yang rutin dikirimnya ke media dan blog pribadi. Bukan suatu hal mengejutkan mengingat Harsa adalah pemuda ambisius dengan kecerdasan kompleks.
Tulisan itu sendiri adalah wujud kegelisahannya sejak bertemu Andaru sore tadi. Kadang, Harsa masih tak habis pikir bahwa ada tipikal orang seperti Andaru yang dengan mudah menjustifikasi orang lain dengan label-label tak berdasar.
Setelah mengembuskan napas panjang, Harsa beranjak meninggalkan kamar. Meski sudah larut, ia tak menghentikan langkah untuk menuju salah satu bilik ruangan khusus dalam rumah.
Sebuah ruangan bernuansa magis langsung menyambutnya. Ruangan itu tidak besar, hanya berupa sudut kecil di samping perpustakaan pribadi keluarganya. Bau dupa menyeruak, mengobrak-abrik indra penciuman Harsa. Terganggu? Tentu saja tidak. Baginya, aroma itu menenangkan dan ia menyukainya.
Pergulatan batin yang seharian ia pendam, hilang seketika. Meski bukan vihara yang biasa ia datangi setiap Minggu, tetapi ruangan itu mampu memberinya ketenangan dan merasa dekat dengan Triratna. Bagi Harsa, puja bakti sebagai penghormatan tertinggi pada Buddha, Dhamma, dan Sańgha, bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun.
"Aku berharap semua hal berjalan dengan baik. Kedamaian abadi untuk Mama di sisi-Mu, Papa, Aeera, Edsel, dan kami semua."
"Jangan kecewa dengan hasil dari doamu, Harsa." Pintu terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya dengan kaos rumahan. Tubuhnya agak tambun, tetapi masih cukup terlihat gagah.
"Papa." Harsa menoleh ke belakang. Raut mukanya sedikit terkejut mendapati sang papa belum terlelap. "Kenapa Harsa harus kecewa dengan hasil dari doa tadi?"
Satya Thien terkekeh singkat. Ia mendekati sang putra dan berhenti tepat di sampingnya. Sejenak, ia memejamkan mata sambil mengucapkan sesuatu tanpa suara.
Selesai dengan doa, Satya berkata, "Tidak semua hal berjalan baik, itu fakta dari sudut pandang manusia. Meski bagi Budha baik, belum tentu kita mengartikannya sama. Ubah cara berpikir dan berdoamu, Har. Kita cukup meminta semua berjalan sesuai semestinya. Adakalanya baik dan sebaliknya. Dengan begitu, tidak akan ada kekecewaan atas kesalahan persepsi kita sendiri. Omong-omong, kenapa belum tidur?"
Harsa sempat tertegun mendengar wejangan sang papa. Meski begitu, ia paham apa maksudnya, sangat paham. Pemuda itu tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. "Baru selesai mengerjakan tugas. Papa sendiri?"
Pria itu tersenyum jumawa sebagai respons. Ia lantas menepuk pelan pundak Harsa. "Papa tahu kamu sedang gelisah, tapi kamu harus ingat. Kedamaian ada dalam dirimu sendiri, tak perlu dicari. Bersahabatlah dengan segala hal, tapi jangan mudah terpengaruh karenanya. Masalah, kejahatan, keburukan, juga hal-hal lain yang tidak terduga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...