"Aku nggak pernah lihat kamu ya, Nam? Padahal, kamu teman sekelas Edsel. Apa aku yang kudet?" Aeera berceloteh sepanjang perjalanan menuju halte. Sebelah tangannya sibuk menggamit tangan Nami yang tampak canggung, sedang tangan yang lain memegang buku dan laptop. Sementara di belakang dua gadis itu, berjalan dengan santai Harsa yang fokus menatap jalanan dan Edsel pada game online-nya.
Setelah kelas berakhir pada jam yang sama, Aeera langsung menggeret tangan Nami untuk berjalan bersama. Katanya, ia bosan jika harus berjalan di antara Edsel dan Harsa yang sifatnya sangat bertolak belakang itu.
"Nami itu mahasiswi kalem, nggak kayak kamu, bar-bar kelewatan." Cibiran spontan Edsel itu sukses membuat Aeera menghentikan langkah mendadak, hingga membuat pemuda yang berjalan tepat di belakangnya itu tidak sadar dan menabraknya.
Seketika Edsel memasang tatapan membunuh pada Aeera yang hampir tersungkur. "Apa? Aku jujur, kok."
Tanpa sadar, Nami tertawa pelan. Lagi-lagi ia dibuat terkejut hari ini, baik interaksi Aeera dan Edsel yang menurutnya konyol, maupun betapa sadarnya pemuda itu tentang keberadaannya di kelas. Ternyata, Nami tidak benar-benar seperti pajangan. Nyatanya, masih ada yang menyadari kehadirannya.
"Bar-bar gini, aku temen kesayangan kamu kan, Sel?" Kedipan mata Aeera berhasil membuat Edsel bergidik, begitupun dengan Harsa.
Setelahnya, mereka kembali berjalan meninggalkan pelataran Fakultas Psikologi.
"Kenapa kamu nggak kuliah di Bali aja, Nam? Maksud aku, sekalian gitu kuliah di kampung halaman, mana pantainya bagus-bagus pula di sana." Nada suara Aeera yang begitu santai, mau tak mau membuat kecanggungan Nami terkikis sedikit demi sedikit.
"Dapat beasiswanya di sini, Ra." Ada kekeah kecil yang lolos dari bibir Nami. Ia jujur, meski ada alasan yang lebih kuat dari itu. Nami ingin mandiri, tak lagi bersama keluarga di mana ia bergabung selama ini. Bertahan seumur hidup di tanah kelahirannya, Bali, tak pernah ada dalam kamus hidup Nami. Ia bahkan bermimpi keliling dunia.
Anggukan beberapa kali diberikan oleh Aeera. Sampai di halte, Nami langsung izin memisahkan diri karena ada urusan di pura tak jauh dari kampus, tempat biasa ia bersembahyang.
Seperti sebelumnya, Aeera kembali bersama dengan Harsa dan Edsel. Sementara dirinya duduk di bangku halte bersama Harsa, Edsel tetap sibuk berdiri menyandar tiang sambil memainkan game di ponsel.
"Kenapa pakai ribet ke halte sih, Ra? Padahal aku bisa anter kamu sampai rumah pakai mobil." Dengan gaya cibiran yang khas, Edsel menyuarakan kekesalannya.
Masih dengan tatapan datar, Aeera kembali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan diam-diam. Jangankan Edsel, dirinya sendiri pun dibuat kesal kenapa harus begitu. Padahal, jarak fakultas mereka dengan halte saat ini lumayan jauh. Lebih tidak melelahkan seharusnya jika mereka berjalan ke tempat di mana mobil Edsel terparkir. Apa boleh buat?
"Aku tadi udah nyuruh kalian buat nggak nemenin aku, loh. Kalian aja yang maksa ikut." Aeera mencoba membela diri, kali ini jemarinya sudah saling tertaut di pangkuan. Buku dan laptopnya sendiri sudah diletakkan di samping kanan, di antara posisi duduknya dan Harsa. Gelisah yang sejak pagi berusaha ditutupinya, mulai bersarang setelah Edsel bertanya.
"Membiarkan kamu sendirian di sini dan mendapat pandangan lapar dari mahasiswa yang nongkrong di depan kafetaria itu? Jangan harap!" Harsa menunjuk ke seberang jalan dengan dagunya.
Memang benar, tempat itu sudah seperti tempat nongkrong yang sangat asyik untuk para mahasiswa selepas kelas. Selain tempatnya yang nyaman untuk mengerjakan tugas, mereka juga bisa leluasa memperhatikan lalu lalang mahasiswa lain. Cuci mata, katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Completed)
General FictionBagaimana jika muslimah pengabdi Wikipedia, pemuda kolektor Injil, si budhist pencari kedamaian, dan gadis introvert beragama Hindu, bertemu dalam hubungan persahabatan? Satu lagi, pemuda "gila" yang memiliki pemahaman berbeda tentang Tuhan. Setidak...