31. Encounter

1.1K 91 1
                                    

Mama :  Sayang, Viola sudah melahirkan.

Sebuah pesan singkat dari mamanya membuat perhatian Tara dari layar laptopnya sedikit teralih. Mata Tara langsung membulat begitu membacanya, Viola sudah melahirkan ponakannya yang ketiga. Berita gembira ini langsung membuatnya kembali bersemangat dan melupakan kesedihan yang mendera selama satu minggu ini. Rasa sedih yang masih disebabkan oleh orang yang sama.

Untuk mengatasinya, Tara mengalihkannya dengan sibuk bekerja. Hampir setiap hari dia lembur dan sengaja pulang lebih lambat dari rekan-rekannya yang lain karena ingin setibanya di apartemen dia sudah sangat letih dan langsung tidur tanpa sempat memikirkan apa pun. Setiap kali berada di apartemen, mau tidak mau membuat perhatian Tara langsung tertuju pada sosok Bintang dan itu membuatnya muak dengan diri sendiri.

Tara menyadari sepenuhnya jika ini adalah memang kesalahannya dan sekarang Tara amat benci perasaan menyesal itu. Sejak dulu, Tara selalu diajarkan untuk bisa menerima setiap konsekuensi dari setiap pilihan hidup yang dia ambil. Mencoba untuk bertanggung jawab penuh dan tidak menyesali keputusan yang sudah dia ambil.

Dia sudah memutuskan untuk menolak Bintang, lalu kenapa sekarang dia harus menyesal? Bukankah semua ini sudah dia putuskan? Alangkah konyol dan bodohnya jika sampai Tara menyesalinya. Tapi, dipungkiri ataupun tidak Tara mengakui dalam hati kecilnya jika dia menyesal dengan keputusannya kali ini.

Tara : Kapan? cewek apa cowok, Mam?

Mama : Cewek, kemarin siang. Bisa ke sini, kan? Mama sama Papa udah di Bogor.

Tara : Bisa kok. Pulang kerja aku langsung meluncur ke Bogor.

Perjalanan dari Jakarta ke Bogor pada hari Jumat begini biasanya memang membuat jalanan macet. Selain hari Sabtu, para mengguna jalan biasanya memanfaatkan hari Jumat sore sebagai waktu yang tepat untuk berlibur ke luar kota sebagai pengisi waktu weekend, juga agar jalanan tidak membludak saat Sabtu pagi. Nyatanya, tetap saja macet.

Tara sampai di rumah sakit sekitar hampir jam sepuluh. Dia yang langsung menuju kamar Viola sudah disambut dua krucil kembar kesayangannya yang bersama-sama memeluk Tara dengan bahagia.

“Mama, Papa mana?” tanya Tara setelah melepas pelukan Kandra dan Kayla.

“Di rumah gue. Ini kan udah malam, kasihan kalo harus tidur di rumah sakit,” jawab Mario yang langsung memeluk adik bungsunya.

“Gemes banget ih, boleh gendong ya.” Begitu cipika-cikipi dengan Viola, bayi yang sedang berada dalam gendongan Viola pun sudah berpindah ke tangan Tara.

“Udah pantes, Ta,” celetuk Viola.

“Iya, udah pantes. Jadi kapan lo nyusul? Gue penasaran sama muka anak lo entar, apa bisa se- kece muka anak-anak gue?” ledek Mario.

“Jangan bikin ancur mood, deh! gue lagi fokus sama ponakan baru juga, malah bahas yang lain,” protes Tara cemberut.

“Siniin anak gue, kasihan dia baru lahir udah lo pelototin begitu.” Mario mengambil alih bayi dalam gendongan Tara.

“Masih belum punya calon?” Tara menggeleng. “Yang pernah lo posting di instagram itu ... bukan?” tanya Viola lagi.

Tara pernah memposting fotonya berdua bersama Bintang saat keduanya mengunjungi sebuah resto seafood. Mereka berpose di depan seekor king crab alaska yang beratnya mencapai dua kilogram. Saat itu mereka berdua yang sama-sama doyan makan, patungan untuk bisa menikmati sajian lezat nan mewah tersebut.

“Yang mana?” sela Mario sebelum Tara membuka mulutnya.

“Itu lho yang mereka foto sama kepiting,” terang Viola sambil menerima bayinya yang diserahkan sang suami.

“Oh ...” Mario tampaknya sudah ingat. “Iya, itu cakep, Ta. Kenapa nggak lo pacarin aja?”

“Cuma teman,” jawabnya, “dulu tapi, sekarang mungkin dia udah nggak mau temenan sama gue lagi kayaknya.”

“Kalo nggak ada sesuatu nggak mungkin, deh.”

“Salah gue sih, Kak. Ya udahlah, mungkin emang udah nasib gue kali. Kan, nggak boleh menyesal sama keputusan kita. Papa selalu bilang kayak gitu.”

“Ta, menyesal itu juga boleh lagi. Dalam hidup nggak semua keputusan yang kita ambil itu selalu benar dan baik buat kita. Jangan menyesal itu hanya salah satu cara supaya kita bisa lebih dewasa, bisa mengambil pelajaran dan membuat kita makin matang dalam mengambil keputusan-keputusan yang lain dan membuat kita nggak menengok lagi ke belakang,” tutur Mario.

“Tapi bukan berarti kita nggak boleh nengok lagi ke belakang. Pilihan itu selalu ada dan kalo menurut lo kesempatan itu masih ada, ya berusaha lagi supaya penyesalan lo nggak makin besar.”

“Vi, lo kasih makan apa nih kakak gue sampai bisa sok bijak begini ngomongnya? Udah kayak orang bener aja!” ledek Tara.

Usia Viola lebih muda dua tahun dibanding Tara, jadi walaupun dia berstatus kakak ipar Tara tapi Tara memanggilnya dengan nama tanpa embel-embel ‘Kak’ atau ‘Mbak’ dan itu membuat mereka tidak ada jarak dan terasa seperti sahabat dekat.

“Kroto campur dedak.” Viola menanggapi dengan candaan.

“Sialan emang aku burung apa! Lo lagi, gue serius juga lo becandain.”

“Ceramahnya nanti aja ya, gue mau nyari makan dulu. Lapar soalnya tadi dari Jakarta belum sempat makan. Kandra, Kayla mau ikut nggak?” Sambil menggandeng dua ponakannya di sisi kiri dan kanan, Tara keluar dari kamar.

“Tuh anak emang paling susah kalo dibilangin. Dasar batu!” keluh Mario.

Tara dan kedua ponakannya berjalan menuju minimarket 24 jam yang letaknya berada di seberang rumah sakit sambil bersenandung lagu film Frozen ‘Do you want to build a snowman’. Jika Kayla tergila-gila dan ingin menjadi princess Elsa, maka Kandra lebih mengagumi Olaf. Kedua anak berusia enam tahun itu memang sangat menggemaskan.

Begitu akan memasuki minimarket, Tara berpapasan dengan Bintang yang terlihat sudah selesai berbelanja. Keduanya sama-sama terkesiap, tak percaya jika mereka akan bertemu di sana.

“Tara, lo ngapain di sini?” sempat terlintas pikiran liar bahwa Tara mencarinya ke Bogor tapi Bintang tahu itu tidak mungkin. Don’t be so stupid!

“Kakak ipar gue melahirkan, lo sendiri ngapain?”

“Rumah gue emang di Bogor.” Benar, Tara berada di Bogor bukan untuk mencarinya.

Keduanya lantas saling diam, siatuasi paling aneh yang pernah dirasakan keduanya. Suara klakson mobil mengagetkan keduanya.

“Bang, ayo! Mama udah pengin rebahan.” Kepala Bulan menyembul di jendela mobil yang terparkir di depan mini market.

“I ... iya, iya. Gue duluan ya, Ta.”

“Bi, ada yang mau gue omongin. Ada waktu?” Tara harus memanfaatkan kesempatan yang ada sebaik mungkin. Mumpung Bintang berdiri di hadapannya tanpa disangka-sangka.

Aunty, ayo!” rengek Kayla dan Kandra yang sudah ribut menunjuk-nunjuk freezer showcase ice cream yang terlihat jelas di balik jendela kaca.

Sorry, Ta. Gue lagi buru-buru sekarang, mau antar nyokap pulang. Lo juga kayaknya lagi sibuk, maybe next time.” Tanpa menunggu jawaban Tara, Bintang sudah pergi dan masuk ke dalam mobilnya lalu meluncur.

XOXO

My Pretty Lady (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang