Long distance relationship atau LDR memang tidak pernah mudah bagi mereka yang menjalaninya. Butuh kesabaran dan pengertian ekstra untuk bisa melewati semua rintangan yang menghadang. Bagi Tara ini adalah hubungan terberat yang pernah dia jalani bersama seorang pria, dari sekian banyak pengalamannya soal berkencan baru kali ini dia mengalami hubungan jarak jauh yang sangat pantang dia jalani dulu.
Bagi Tara, bukan hanya perkara saling percaya dan kesabaran yang seluas samudera saja yang harus dia punya tapi juga hati sekuat baja yang sanggup menahan gempuran rindu berlapis-lapis dan Tara sadar dia tidak punya itu. Lalu kenapa dengan Bintang, Tara mau mencobanya? Tara sendiri tidak tahu alasannya, dia hanya mengikuti kata hatinya yang selalu berbisik bahwa hubungannya kali ini akan baik-baik saja. Dia dan Bintang pasti bisa melewati masa penuh kerinduan ini.
Tak terasa hubungan jarak jauh ini sudah melewati waktu satu tahun, dan sudah sangat menguras emosi Tara. Seharusnya Tara sudah terbiasa dengan kesendiriannya selama ini sebelum berpacaran dengan Bintang, tapi nyatanya tidak. Dia masih sering melamun dan menangis sendirian terlebih karena sudah seminggu ini Bintang sangat sulit dihubungi.
Biasanya, cowok itu yang menghubungi Tara duluan dan mengucapkan sejumlah kata rindu dan sayang yang membuat Tara sangat ingin memeluknya saat itu juga. Tapi entah kenapa, Bintang jadi sangat jarang menghubunginya, dan itu menimbulkan berbagai pikiran negatif yang coba Tara halau. Dia percaya Bintang sepenuhnya, walau tak bisa dia bohongi prasangka jelek itu masih sering menghantui pikirannya.
Tara kembali menenggak martini-nya dengan arah pandang terus tertuju ke lantai dansa di mana banyak orang sedang berjoget mengikuti irama. Tara memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah tadi dia berusaha kembali menghubungi Bintang tapi tak tersambung. Ini sudah yang ke sekian kalinya.
“Nggak turun, Ta?” Pam duduk di sebelah Tara dan meminum cosmopolitan. Lelah bergoyang membuatnya haus.
“Lagi malas.” Mau mencoba menikmati clubbing malam ini tetap tak bisa menghilangkan kegundahan di hati Tara.
“Masih susah dihubungi?” tebak Pam lagi yang mulai mengeluarkan sebatang cigarette milik David yang ditinggalkannya di atas meja sementara sang empunya masih asyik berjoget bersama yang lainnya. Pam menyulut api dan mengembuskan asapnya tipis setelah melihat gelengan kepala Tara sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Positive thinking aja, mungkin dia lagi sibuk kali. Namanya juga kantor pusat. Nanti kalo udah nggak begitu sibuk dia pasti hubungi lo.”
Tara mengangguk lalu menghabiskan martini yang tersisa. Sungguh ini pertama kalinya dia tidak bisa menikmati clubbing yang biasanya selalu ampuh menjadi obat pelebur stres selama ini.
“Gue balik, ya,” pamitnya sambil mengamit tas.
“Kok balik? Baru jam sebelas, biasa juga sampe pagi lo nongkrongnya.”
“Nggak enak badan.” Tara beranjak berdiri.
“Mau gue antar?”
“Nggak usah, gue pake taksi aja. Bilangin sama anak-anak ya, gue balik duluan.”
Tara melangkah pergi menuju pintu keluar dan menyetop taksi yang kebetulan melintas di depan club. Tara sedang didera rindu berat pada Bintang, tapi orang yang dia rindukan justru sulit dihubungi. Usaha Pam dan teman-teman untuk mengajaknya clubbing sangat Tara hargai, tapi dia tidak bisa menahan diri di tempat yang sama sekali tidak memberinya kesenangan itu. Tara hanya ingin pulang dan menangis sendirian.
Saat taksi berbelok di arah perempatan jalan, mata Tara tertuju pada sebuah resto Italia yang pernah dia datangi dulu bersama Bintang saat mereka masih berteman. Menu yang mereka pesan tentu saja fettuccini yang dimaksudkan untuk Tara bandingkan rasanya dengan fettuccini buatan Bintang dan ternyata rasa masakan Bintang itu tak kalah lezat dari buatan seorang chef profesional. Tara memutuskan untuk turun dan masuk ke dalam resto itu lalu memesan menu yang sama. Mungkin dengan sepiring fettuccini bisa membuat rasa rindunya sedikit terobati.
Mencecap lagi fettuccini ala resto yang sama lezatnnya seperti buatan Bintang bukannya membuat mood Tara membaik malah membuatnya semakin ingin menangis. Pasta yang sedang dikunyah mengingatkannya kembali pada sosok Bintang yang pernah membuatkan menu serupa. Dia begitu merindukan pria yang selalu menatapnya hangat dengan senyum terkembang itu. Tara semakin tidak bisa membendung air mata yang dengan mudah lolos dari pelupuknya.
“Maaf, Miss. Apa ada yang kurang dengan pastanya?” salah seorang pramusaji menghampiri meja Tara dengan wajah cemas.
“Nggak, pastanya enak. Seperti biasa.” Tara memberi senyum ramah dan mengusap air matanya. Tidak seharusnya dia menangis di tempat seperti ini. Payah!
Sepeninggal pramusaji tadi, Tara mencoba menenangkan diri. Nafsu makannya sudah hilang padahal baru satu suapan. Jika dia teruskan makan, takutnya dia akan menangis lagi bahkan lebih buruk dari yang barusan. Mungkin bukan hanya waiter yang datang tapi bisa-bisa manager resto ini pun akan menghampirinya. Satu lagi, sejak kapan Tara berubah menjadi perempuan cengeng seperti ini? It’s not you, Tara!
“Kalo fettuccini-nya enak kenapa nangis, Miss?”
“Starving—” ucapan Tara terjegal begitu saja karena lidahnya mendadak kelu. Sosok yang berdiri di depan begitu membuatnya syok dan hampir lupa untuk bernapas. He’s here ... gumam hatinya tak percaya.
Bintang mendekat dan duduk di samping Tara yang masih belum bisa berkedip itu, setelah menggulungnya dengan garpu, Bintang memakan pasta itu dengan santai lalu dia mengangguk paham.
“Pantas kamu nangis. Ini bukan aku yang masak sih, jadi nggak pake bumbu rahasia keluarga,” cerocosnya sambil mengunyah dan menatap Tara bersamaan. Tangannya terulur dan mengusap air mata Tara dengan lembut.
“I’m home ....”
Tara langsung melesak ke pelukan Bintang, tak pernah dia duga bahwa Bintang benar-benar sudah ada di dekapannya.
“Kamu kok bisa di sini? Kenapa pulang nggak bilang-bilang? Terus kenapa ditelepon susah banget? Sengaja bikin aku senewen, ya?” tanya Tara bertubi-tubi.
“Iya, memang sengaja mau bikin surprise. Tadinya mau di club, tapi kamu malah pulang duluan akhirnya rencana berubah jadi di sini deh.”
“Rencana apaan?”
“Propose you,” bisiknya di telinga Tara.
Secara bersamaan Pam, David dan teman-teman kantornya yang tadi clubbing bersama berdatangan ke sana dan membuat Tara mengerti kenapa Pam begitu memaksanya untuk ikut party malam ini walaupun Tara sempat menolak. Ada konspirasi di sini.
Bintang melepas pelukannya lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru merah berisi sebuah cincin berlian yang semakin berkilau diterpa cahaya lampu resto. Demi Tuhan, Tara tidak tahu lagi apa dia masih bisa bernapas dengan baik atau tidak karena saat ini seluruh rongga paru-parunya terisi oleh ribuan bunga.
“There is only one happiness in my life, when the gorgeous woman i’ve ever seen could be my wife,” pinta Bintang dengan sorot penuh harap.
Para pengunjung resto juga karyawan ikut menyemut menyaksikan lamaran tak terduga itu. Beberapa di antara mereka ada yang terpekik girang karena seolah menyaksikan adegan romantis dalam FTV maupun drama korea yang sedang hits itu.
Reaksi Tara seperti kebanyakan wanita lain yang sedang menerima hal tak terduga namun membahagiakan ini hanya bisa terdiam sambil menutup mulutnya yang terbuka dengan menangkup tangan. Masih tak bisa mempercayai situasi saat ini.
Dengan air mata haru yang sudah tak terbendung lagi, Tara menarik napas panjang sebelum menjawab. “Yes!”
XOXO
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pretty Lady (Completed)
RomanceBintang: "Nama lo Tara Auristella artinya bintang yang bersinar terang. Lo bisa terang sendirian, itu artinya lo kuat." Tara: "Nama lo Bintang Cakrawala artinya bintang di atas langit. Kalo gak ada lo, gue gak punya tempat untuk bergantung. Untuk bi...