#41

56 9 8
                                    

Pagi-pagi begini hujan sudah turun di kota yang sangat terkenal panasnya. Indyra masuk bergelut dengan selimutnya, menggulung dirinya dan menyembunyikan wajahnya di atas bantal miliknya.

Azan subuh sudah berkumandang sejak tadi, tapi setan menggelayuti dirinya untuk tidak mengerjakan kewajibannya. Akhirnya Indyra memaksakan dirinya untuk menunaikan ibadahnya.

Selesai mengerjakan dua rakaatnya, Indyra langsung merapihkan buku-bukunya, rapihkan ranjangnya dan keluar dari kamarnya.

Aktivitasnya setiap hari adalah merapihkan rumah sebelum ia berangkat menuntut ilmu.

Setelah selesai ia langsung membuat sarapan untuk dirinya dan untuk sang ibunda.

"Hey ada yang mau Mama bantu ga?" Tanya Riska--sang ibu.

"Gak usah Mam, udah selesai. Mama berangkat pagi hari ini?" Tanya Indyra sopan.

"Iya. Oh iya kamu udah dapet kerja?" Tanya Riska sambil menarik kursi meja makannya.

"Belum Mam, ini aku mau nyari lagi nanti."

"Ada yang mau Mama omongin ke kamu," ucap Riska sambil menatap lekat sang anak yang berada cukup jauh darinya. "Mama ketemu Papa tadi malam."

"Hah?" Hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir mungil Indyra.

"Iya. Mama pulang kerja dan gak sengaja papasan sama Papa kamu."

"Jadi Papa tinggal daerah sini?" Tanya Indyra memastikan.

"Bisa dibilang gitu."

"Terus Papa ngomong apa ke Mama?" Tanya Indyra meneliti.

"Nanya kabar kamu Ra," jawabnya.

"Terus?"

"Papa mau ketemu kamu katanya."

"Gak! Ira gak mau Ma! Ira gak mau ketemu orang jahat yang ninggalin kita pas kita butuh kekuatan dari dia!" Segera Indyra menyahuti perkataan Riska dengan marah.

"Raa, dia Papa kamu. Kamu darah dagingnya."

"Kalau Ira disuruh milih, Ira gak mau jadi darah dagingnya. Darah daging manusia yang gak bisa memanusiakan manusia. Ira benci dengan Papa!" Bentaknya.

Indyra sangat membenci sang ayah, tetapi tidak bisa ia pungkiri bahwa ia juga sangat merindukan sosok yang sudah bertahun-tahun meninggalkannya. Ia rindu cium dan peluk hangatnya. Tapi ego yang masih menguasai dirinya membuat Indyra tidak bisa menyingkirkan kebenciannya.

Ia sangat membutuhkan sosok orang bapak, sosok yang selalu melindunginya, sosok yang selalu menguatkannya. Ia butuh itu.

Indyra masih terisak didalam bilik kamarnya. Menyandar pada tembok kamarnya lalu tubuhnya merosok kebawah. Ia masih tidak bisa menerima tentang takdir semesta yang mendatangkan dan memisahkan semaunya.

Beberapa menit Indyra masih menangis akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri dan fokus dengan apa yang sudah ia lakukan sendirian selama ini.

Ia memoles wajahnya dengan beberapa alat makeup yang bertujuan untuk menutupi mata sembabnya. Ia keluar rumahnya, matanya menemukan sosok yang sudah menjadi pandangannya setiap hari.

"Han??" Panggilnya sambil berjalan mendekati Yohana. "Kamu ngapain kesini?"

"Jemput lu lah," jawabnya santai.

"Lovata gimana?"

"Kenapa sih lu tuh mikirin Lovata mulu?" Yohana bingung dengan wanita yang berada dihadapannya ini. Sudah beberapa hari Indyra sangat peduli dengan Lovata.

LovatAllzen [SELASAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang