4. Starting...

7.7K 1.7K 367
                                    

-ˋˏ ༻❁༺ˎˊ-

"Kalian deket sama Heeseung ya?" tanya Gyura ke Jake yang sekarang duduk di hadapannya.

Jake diem sebentar, sebelum jawab, "Kenapa tanya gitu?"

"Penasaran aja, Heeseung nganggep kamu dan temen-temenmu temen padahal—"

"Kami emang temen Heeseung, kamu ga tau apa-apa." Jake memotong ucapan Gyura.

"Ooh, maaf," kata Gyura. Tapi tidak percaya.

"Sejak kapan temenan sama Heeseung?" tanya Gyura lagi, tidak menyerah.

Jake mendengus sebal, "Kalau aku, Sunoo sama Sunghoon sejak smp, yang lain baru aja dari masuk sma, sekelas," jawab Jake.

"Tujuan kalian temenan sama Heeseung apa, kok kaya—"

"Kenapa Heeseung terus sih?! Kami temen Heeseung. Udah. Cukup itu aja yang kamu harus tau."

"Jake," panggil Gyura. Jake menoleh.

"Aku mau pulang, gak mood makan lagi."

Jake menghela napas, Gyura ndeketin dia cuma karena mau cari tahu tentang Heeseung?

-ˋˏ ༻❁༺ˎˊ-

Heeseung masuk dengan wajah tanpa ekspresi ke rumah itu. Seandainya ada tempat lain yang bisa ditinggali, Heeseung pasti tidak akan pulang ke rumah.

"Dari mana aja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya begitu langkah kaki Heeseung sampai di ruang tamu.

"Bukan urusan anda," jawab Heeseung dingin, berlalu ke kamarnya.

"HEESEUNG!"

"KENAPA SIH?!" Heeseung berbalik lagi.

"GINI YA SIKAP KAMU SAMA ORANG TUA?" Nyonya Lee kehilangan kesabaran.

Heeseung tidak takut, ia terbiasa seperti ini. "Siapa yang didik aku selama ini hah?! Mama? Papa? Dan apa yang aku dapetin?! Cara mukul? Umpatan? Cara ngerusak barang?!"

Plak!

Heeseung meringis, memegang pipinya yang rasanya perih.

"Itu maksud kamu? Masuk kamar, belajar! Jangan sampe mama dapet laporan nilai kamu turun lagi," kata Nyonya Lee dingin.

Tanpa kata Heeseung masuk ke kamarnya, melempar tas dan sepatunya asal kemudian masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dan berjongkok dibawahnya tanpa melepas pakaian.

Air matanya bercampur dengan guyuran air dingin.

Heeseung benci saat dia menangis. Rasanya sakit, lebih dari sekedar perih karena tamparan. Tapi ia tidak tahu dimana, rasanya seluruh tubuhnya ikut merasakan itu.

"Lemah."

"Ga berguna kamu."

"Sakit kan?"

"Aku menang."

Suara-suara itu muncul, entah dari mana. Suara yang dulu menjadi temannya, sekarang seolah-olah ikut menyiksanya.

Benar, dari kecil Heeseung sering berbicara sendiri. Suara dalam pikirannya dulu selalu menemaninya.

Tapi semenjak mimpi buruk itu datang. Suara itu sekarang selalu mengganggunya. Memerintahkan hal yang tidak-tidak, tapi kemudian menghiburnya.

Heeseung muak.

Tetapi suara itu tidak bisa hilang.

"Kaya biasanya, ambil silet, kamu harus tidur."

"Dieemm.....hiks..." Heeseung semakin terisak, menjambak kuat rambutnya, berharap suara itu pergi.

"Kenapa si? Aku yang nemenin kamu selama ini loh."

"Apa mau kamu..."

"Hilangin rasa sakit kamu. Cuma aku yang peduli sama kamu, kan?"

Heeseung menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana, mencoba berhenti menangis. Tapi tidak bisa, rasanya semakin sakit.

Tangannya kemudian merogoh saku seragamnyanya. Menatap benda itu. Benda yang selalu ia bawa kemana-mana.

Pandangannya fokus ke plester-plester berwarna pink yang menempel di tangannya.

"Jangan lagi... Aku ikut sakit...." suara Gyura tiba-tiba melintas.

Ia ragu.

"Gausah pikirin, dia cuma kasihan. Besok-besok juga ga inget."

Suara itu benar. Banyak yang seperti itu sebelumnya. Gurunya, Jake, Sunghoon, atau yang lainnya.

Semua itu tidak lebih dari sekadar kasihan.

Selebihnya mereka tidak peduli.

Srett...

"Anak pinter."

Srett..

Srett..

Tak lama darah menetes bercampur dengan air shower.

Heeseung menatapnya. Bagaimana garis tidak beraturan itu malah terlihat seperti lukisan yang indah.

Srett..

Rasanya sedikit lega, setidaknya ia tahu, mana bagian dirinya yang sakit sekarang. Setidaknya ia berhasil memindahkan rasa sakit tak berwujud itu ke tangannya.

Srett..

"Kamu tau betul. Aku dan benda itu, yang paling perhatian sama kamu."

Heeseung menangis lagi, ingin berteriak, tapi tak sanggup. Ia melempar cutter itu. Memegang kepalanya yang mulai pusing.

"Kenapa gak mati aja..." lirihnya pelan.

"Husst, jangan gitu, aku ada di sini, buat kamu."

Selalu seperti itu.

Lama kemudian, rasa kantuk datang. Heeseung tidur bersama mata yang perih dan dingin yang menyapa kulit.

Berharap ia tak akan membuka mata esok.

-ˋˏ ༻❁༺ˎˊ-

"Halo, Jake..."

"Iya, kenapa tante?"

"Tolong, Heeseung kumat lagi."

-ˋˏ ༻❁༺ˎˊ-

I'm Fine | Lee Heeseung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang