Ep.43 - Berdetak [END]

1K 144 89
                                    


‘Detak jantung yang memberimu kehidupan.’

’

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HOTEL DELUSION
Minggu, 12-07-2020
.
.
.

Sehun dan Sejeong sampai di taman, masih enggan melepas tautan tangan mereka. Pohon delusi benar-benar mengering, ranting rapuh yang bisa patah kapan saja dan daun kecoklatan yang hampir gugur semua. Waktunya sudah tiba, Sejeong harus mengakhiri semua, pokoknya ia tidak boleh menangis di hadapan Sehun.

Seulas senyum tersungging di bibir Sehun saat menatap sorot mata meneduhkan milik Sejeong. “Tidak ada yang ingin kau katakan lagi padaku?”

“Aku sangat mencintaimu Oh Sehun.” kata Sejeong.

Pegangan tangan Sehun dan Sejeong melonggar. Sehun mengusap bibir Sejeong dengan satu jarinya. “Aku bahkan lebih mencintaimu.” bisik Sehun, lalu mengecup bibir Sejeong dengan perlahan, membiarkan gadis itu merasakan sentuhannya sekali lagi di malam terakhir mereka.

Sejeong bisa membayangkan bahwa nantinya dia akan membangunkan Sehun di suatu pagi di musim dingin. “Aku akan melepaskan pedangnya sekarang.” kata Sejeong, ia memberikan beberapa detik tatapan teduhnya ke arah suami delusinya.

Sehun menganggukkan kepalanya, dan Sejeong segera menghampiri pohon delusi. Tak lama setelah memperhatikan punggung Sejeong yang menjauh, Sehun berbalik, membelakangi pohon delusi. Gemerisik daun kering menyapa indera pendengaran, memberitahu seberapa kencang angin bertiup.

Kedua tangan gemetar itu memegang gagang pedang, memohon untuk kebahagiaan si pemilik pedang, bebaskan lelaki itu dari rasa bersalah yang menggelayuti hatinya.

MIANHAE!” pekik Sejeong seraya menarik lepas pedang dari dahan pohon delusi.

Sontak rasa sakit itu menyerang dada Sehun, ratusan jiwa yang telah dibunuhnya menampakkan diri, menyerupai kunang-kunang, berterbangan ke segala arah. Sehun jatuh berlutut sambil meremat dadanya, seolah dihantam ribuan pedang. Erangan kesakitan sampai ke telinga Sejeong…

Harusnya Sejeong mengabaikan suara itu. “Mianhae, mianhae,” sesalnya lantas membuang pedang, air mata sudah membasahi wajahnya, “Oh Sehun-sshi!” jerit Sejeong berlari cepat mendekati Sehun.

Sekuat apa pun Sejeong mencoba menahan tangisnya, itu tetap tidak berhasil. Kini ia berhadapan dengan sosok paling rapuh yang pernah dilihatnya.

“Jangan menangis,” kata Sehun, urat-urat wajahnya menonjol.

Mendengar ucapan itu, Sejeong menghapus jejak air mata di pipinya. Sehun yakin rasa sakitnya tengah membeku, sebentar lagi dia terbebas dari hukuman. Tanpa mereka ketahui, lubang di dahan pohon delusiᅳbekas pedang menancapᅳsemakin melebar, mengeluarkan cahaya kebiruan.

Tak lama semua daun dan ranting yang berserakan di tanah terhisap, masuk ke dalam lubang tersebut. Begitu pun dengan tubuh Sehun, bergerak mundur, tertarik menuju lubang pohon delusi, semakin cepat… sampai menghilang dari pandangan Sejeong. Seketika itu tangis Sejeong semakin kencang, bahunya berguncang keras, dia menangis tersedu-sedu di luar kendali, jatuh terduduk di tanah.

Hotel DelusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang