Sekolah

129 5 1
                                    

Waktu tidak akan pernah menunggumu, dia akan terus berjalan dan berjalan. Dia akan membawa kita ke dalam putaran waktu yang tiada henti sampai nafas terhenti. Bila kita tak waspada.., suatu ketika kita akan tersadar dan kita sudah tertinggal. Ketika kita mengejarnya, dia menghilang.., dan tak akan pernah kembali. Dia menghilang bersama semua impian dan kenangan... Kita tak akan pernah bisa protes atau berargumen dengannya, karena ia tidak akan peduli dan tak mau tau siapa kita. Dia hanya akan terus berdetak... Dan suatu saat... Ia akan berhenti berdetak di hidup kita bersamaan dengan berhentinya detak jantung, waktumu habis. Namun waktu akan tetap berjalan tanpamu... Terus berdetak sampai waktuNya. Karena itu.... Aku ingin memakai waktuku dengan penuh arti. Sampai waktuku berhenti berdetak.

Kalau Sang waktu memberikan aku lebih banyak waktu... Aku ingin waktu itu kujalani dengan menatapmu sampai kamu berlalu dari waktuku... Hanya menatapmu... Itu lebih berarti bagiku dari apa pun. Kamu... Ya Kamu...

Aku melihat jam yang tergantung di dinding kelas. Kelas yang kosong membuat detak jam terdengar keras tak..tak..tak... Sekarang waktu menunjukkan pukul 06.45 pagi. Jadwal piket membuatku harus datang lebih awal hari ini. Biasanya kami piket sepulang sekolah supaya tidak terburu-buru di pagi hari. Tetapi kemarin aku dan teman-teman memutuskan untuk piket pagi ini. Dan sekarang..., tak ada satu pun dari mereka muncul. Aku mendesah pelan lalu bergerak menyapu lantai kelas dan mengumpulkan sampah yang ada di kelas. Hanya suara detak jam di dinding menemaniku. Jam 07.05 teman-teman sekelasku mulai berdatangan satu persatu, aku sudah selesai menyapu lantai dan mengumpulkan sampah. Jam 07.10, akhirnya Ane dan Diah teman piketku muncul di kelas dengan nafas tersengal-sengal. Aku sedang membersihkan papan tulis saat Ane dan Diah mendekatiku, kuhentikan tanganku yang bergerak menghapus papan tulis.

"Maaf, Pijar. Kami telat..." ucap Ane terbata-bata, sedang Diah masih mengatur nafasnya.

"Iya. Maaf ya, Pijar." ucap Diah setelah berhasil mengatur nafasnya, aku tersenyum pada mereka dan mengangguk.

"Guys..." Mattew muncul di kelas, dia cengar cengir nggak jelas mendekati kami.

"Aku telat.. Maaf.." ucapnya santai tanpa wajah bersalah.

"Waduh.., kelas sudah bersih aja..." ucapnya sambil melihat sekeliling kelas dengan wajah bahagia. Mattew juga salah satu teman piket kami.

"Karena kelas sudah bersih, aku sudah bisa duduk di bangkuku ya..." ucapnya dengan senyum mengembang kepada kami, lalu berbalik hendak melangkah ke bangkunya.

"Buang sampah, Matt..." ucapku lembut membuat langkah Mattew berhenti, bahunya merunduk lalu mengangguk tanpa menoleh. Lalu Mattew meletakkan tasnya di meja dan membawa tong sampah ke tempat pembuangan sampah sekolah. Aku tersenyum... Ane mengambil penghapus dari tanganku dan menggantikanku menghapus papan tulis.

"Oke, lanjutin ya..." ucapku, Ane dan Diah mengangguk sambil senyum. Aku lalu berjalan menuju bangkuku. Navya teman sebangkuku sudah duduk manis di bangkunya dan tersenyum padaku.

"Kapan sampai, Nav?" tanyaku sambil meraih tasku. Aku tidak melihatnya masuk kelas tadi.

"Baru aja, Pij. Dan baru aja selesai nyalin PR." ucapnya sambil tertawa, aku tersenyum. Kebiasaan Navya kalau ada pelajaran Matematika. Mattew sudah kembali ke kelas dan sebelum duduk di bangkunya, dia mengganggu Diah dan Ane yang masih ada di depan kelas. Ane dan Diah berteriak kesal padanya. Mattew tertawa sambil duduk di bangkunya. Si jahil mattew nggak bakalan bahagia dipagi hari tanpa mendengar teriakan protes teman-teman yang jadi korban kejahilannya. Aku menggeleng melihat tingkah Mattew.

 Kelas sudah ramai dan aku tidak mendengar lagi suara jam yang berdetak, yang terdengar hanya suara teman-temanku yang mengisi udara di kelas ini. Bel masuk berbunyi, semua langsung duduk di bangku masing-masing dan tak sampai semenit Pak Gandi muncul di pintu kelas. Kelas seketika hening dan aku kembali mendengar detak jam yang berdetak. Seperti biasa Pak Gandi membawa penggaris kayu yang panjang dan buku di tangannya. Pak Gandi meletakkan penggaris dan bukunya di atas meja. Dan memulai pelajaran hari ini, pelajaran matematika. Menghadapi matematika di jam pertama menjadi beban tersendiri bagi sebagian siswa di kelas kami...

                                                                                       ***

Aku menunggu Navya yang sedang ke toilet. Aku duduk di bangku dekat jendela kelas, menatap keluar kelas yang sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih berkeliaran di sekolah. Kelas sudah lama bubar, seketika sekolah ini sepi. Aku menatap kelas di depan kelas kami. Kelas itu juga sudah sepi hanya beberapa siswa piket yang masih sibuk beres-beres. Seorang siswa cowok berjalan masuk ke kelas itu, mataku mengikuti sosoknya. Dia belum pulang ternyata... Tidak lama kemudian dia keluar dari kelas sambil membawa tas ranselnya di punggungnya. Dia berhenti sejenak di depan pintu kelasnya sambil melihat buku di tangannya, memberiku kesempatan untuk memandangnya lebih lama. Hanya sebentar saja lagi aku bisa melihat pemandangan ini. Hanya tinggal beberapa bulan lagi saja. Hatiku tak rela tapi...aku tak bisa menahannya.

Dia, senior yang kusukai sejak setahun ini. Mataku selalu tertuju padanya. Mataku enggan 'tuk melepas sejenak saja jika ia menemukan sosok seniorku yang satu ini, Bang Daru. Bang Daru tidak terlalu ramah pada orang lain, dia tidak suka basa basi. Dia lebih suka membaca buku daripada ngobrol ngalor ngidul. Walau dia ada di antara teman-temannya yang ribut dengan obrolan mereka, dia bisa dengan santai membaca bukunya. Bang Daru tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya. Tetapi bila melihat ada siswa yang mem-bully siswa lain, dia pasti akan ikut campur. Dia paling tidak suka dengan orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap orang lain. Hal itu membuat aku menyukainya selain dia juga tampan, aku tersenyum..

Bang Daru berjalan meninggalkan kelasnya, mataku mengikutinya sampai menghilang di belokan koridor sekolah. Ijinkan aku menatapmu seperti ini Bang, disisa waktumu ada di sekolah ini. Bang Daru sudah kelas XII, beberapa bulan lagi dia akan lulus dari sekolah ini.

"Hei..." Navya mengejutkan aku yang masih menatap belokan dimana Bang Daru tadi menghilang. Aku menatap Navya kesal, Navya tertawa.

"Pasti ngelihatin Bang Daru ya... Aku melihat dia keluar dari kelasnya tadi." ucap Navya sambil berjalan ke bangkunya dan mengambil tasnya. Aku manyun lalu berdiri dan berjalan menuju pintu kelas. Navya mengikutiku, kami keluar dari kelas.

"Benar kamu nggak mau ungkapin perasaanmu pada Bang Daru." ucap Navya sambil merangkul bahuku.

"Kamu gila ya..." ucapku protes, ungkapin perasaan pada Bang Daru? Berdiri di hadapannya saja aku tak mampu.

"Nanti kamu menyesal lo... Kamu tau kan, kalau dia akan lulus dari sekolah kita ini dan akan melanjutkan kuliah. Nah, di kampus itu dia akan ketemu banyak cewek-cewek dan bisa saja dia memilih satu di antara cewek-cewek itu." ucap Navya memanasiku.

"Baguslah, itu artinya dia nggak playboy. Dia memilih satu nggak memilih semua." ucapku menunjukkan kalau aku tidak berhasil dipanasi Navya.

"Kalau memilih semua itu bukan memilih tapi menerima semua..." ucap Navya sewot tidak berhasil memanasiku. Aku tertawa.

"Kamu nggak cemburu... Kalau Bang Daru bersama cewek lain?" tanya Navya, aku senyum. Pertanyaan yang bodoh, jelaslah aku cemburu tetapi itu hak Bang Daru memilih siapa yang akan menjadi pendampingnya.

"Jangan tanya..." ucapku lalu melangkah cepat menuju gerbang sekolah, Navya ikutan melangkah cepat.

"Aku mau tahu kadar sukamu sama dia..." ucap Navya, aku menutup mulutku dengan tanganku.

"Jawab Pijar..." ucap Navya memaksaku menjawab. Aku menggeleng lalu berlari keluar lingkungan sekolah, Navya ikut berlari. Aku tertawa melihat Navya yang kesal karena aku nggak mau menjawab pertanyaannya.

"Dasar cinta monyet." ucap Navya, aku tertawa.

"Kamu monyetnya..." ucapku.

"Kamulah, kan kamu yang lagi jatuh cinta." ucapnya sambil tertawa. Lalu kami tertawa bersama...

                                                                                             ***

Bersambung...

Sudut HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang