🌙 four

5.6K 1.1K 423
                                    

Hai hai!! Update nih!!

Jangan lupa vote dan komen kalau kamu suka cerita ini ya🥰





00

Matahari sudah tenggelam sepenuhnya saat Chan tiba. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Chan mulai berjalan masuk ke rumah.

Seorang perempuan yang tengah asik menyaksikan acara televisi—sambil sesekali tertawa karena adegan disana, adalah pemandangan pertama yang Chan lihat begitu menginjakkan kaki di ruang tengah. Perempuan itu bahkan tak sadar dengan kehadiran Chan.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Chan mulai menghampiri Arin. Sebenarnya dia lelah, tapi ada satu pertanyaan yang terus menganggu pikirannya sepanjang sore ini.

"Kita perlu bicara."

Jika dibandingkan dengan suara yang keluar dari telivisi, tentu saja suara Chan terdengar lebih pelan. Untuk itu dia mematikan benda elektronik itu terlebih dahulu, tanpa peduli dengan Arin yang kini sudah menatapnya sinis.

"Ngomong tinggal ngomong, kenapa ribet banget sih? Aku juga punya telinga kali, aku dengar kamu ngomong." Arin hendak merebut kembali remote televisi, tapi Chan lebih dulu menjauhkan benda itu.

"Jelaskan maksud yang tadi siang." Pinta Chan.

Awalnya Arin tak mengerti, tapi pada akhirnya dia menangkap maksud Chan. "Ah, soal tadi di restoran? Waktu makan siang?"

Meskipun Chan tak menjawab, tatapan matanya sudah cukup menggambarkan bahwa dia menuntut sebuah penjelasan.

"Aku cuma nggak mau orang-orang kantor tau kalau aku udah menikah," Arin melanjutkan.

Arin itu bagai duri, dan Chan adalah lukanya. Duri itu selalu menancap pada luka yang sama berkali-kali. Sudah dapat membayangkan betapa pedih dan sakitnya luka itu, kan?

"Kamu bukan menikahi seorang kriminal atau koruptor, kenapa kamu menutup-nutupi status pernikahan kita?"

"Karena aku malu!" jawab Arin cepat. Nadanya meninggi. Marah sekaligus sedih dengan fakta yang tengah dihadapi.

"Kenapa?" tanya Chan lirih, "apa menurutmu menikah itu aib?"

"Benar. Bagiku menikah itu aib. Memalukan," tanpa memedulikan ekspresi wajah Chan yang sudah pucat pasi, Arin mengangguk membenarkan. Perempuan itu menghadap Chan, menatapnya dengan tajam, "kamu tau? Teman-teman sebayaku belum ada yang menikah. Mereka masih bebas bersenang-senang. Pergi ke club, memiliki pacar yang mereka cintai, belanja bersama dan masih banyak keseruan lain yang nggak aku rasakan. Mereka menghabiskan masa muda dengan puas, sementara aku harus terikat pernikahan seperti ini. Setiap harinya Mama selalu nelponin aku buat nanyain kamu, minta aku ngurus kamu, selalu ngingetin tanggung jawab seorang istri seperti apa. Kamu pikir aku nggak capek dengan itu semua?"

Chan menelan ludah, pengakuan Arin semakin lama semakin menyakitkan saja.

"Jadi karena itu kamu membenciku?" Chan harap Arin mengangguk, karena dengan begitu, tidak perlu ada alasan lain untuk menyakiti Chan lebih dalam. Tapi nyatanya, perempuan itu malah menggeleng pelan.

"Masih banyak alasan yang buat aku benci sama kamu."

Dari kedua mata Arin, Chan berharap menemukan kebohongan disana. Sayangnya tidak, semua yang Arin katakan benar-benar dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Yang selama ini belum pernah diutarakannya pada Chan.

"Sehina itu aku dimata kamu?" Suara Chan semakin merendah.

Lagi-lagi Arin mengangguk. Kenyataan bahwa Arin memang sebenci itu pada Chan, benar-benar menamparnya. Dadanya turut merasa sesak dengan semua yang Arin utarakan.

gloomy moon • bang chanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang