🌙 twenty seven

5.4K 1K 752
                                    

Kemarin aku kan cuma nanya, kalian tau dari mana cerita ini... tapi kenapa merembet ke yang lain... yang... yang sampe muji-muji...
GA NGERTI LAGI KALIAN KENAPA BISA SE-SWEET INI? SIAPA YG NGAJARIN? BANGCHAN YA?!?! EMANG DEH DIA TUH!!



Okey, tenang. Fokus.

Selamat membaca.


Jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalau kamu suka cerita ini❤️



•••

Arin pikir, semesta akan mengizinkannya untuk merasakan kesenangan paling tidak sampai penghujung hari ini. Sayangnya dunia tidak sebaik itu untuk membuat mereka lebih tenang bahkan setelah seharian menghadapi tantangan yang melelahkan.

Seperti sekarang misalnya. Suara air shower dari kamar mandi di sebelah kamar Arin terdengar begitu nyaring, sehingga memaksanya terjaga dan langsung melihat ke sekeliling.

Dia terbangun tanpa Chan disisinya. Padahal jelas-jelas semalam mereka tidur saling berpelukan, seolah tak membiarkan alam memisahkan mereka.

Tanpa pikir panjang, Arin menyibak selimut lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dengan teburu-buru. Perasaan tidak enak mulai menyelimuti dada dengan pikiran yang dipenuhi asumsi-asumsi buruk sampai membuatnya ketakutan pada setiap langkah menuju kamar mandi.

Napas Arin yang semula berderu tak karuan karena terlalu cemas, kini malah tercekat begitu menyaksikan pemandangan yang ada di depannya. Tubuhnya kaku untuk bergerak, tapi suara rintihan Chan yang terdengar menyakitkan itu menyadarkan Arin untuk segera bertindak.

Arin menyambar handuk di dekat wastafel lalu bergegas mematikan keran shower yang mengguyur bagian atas tubuh Chan—yang tidak terbalut kaos. Arin membentangkan dan mengeratkan handuk tersebut untuk menghangatkan Chan yang hampir tak sadarkan diri, seolah setengah jiwanya telah ditarik keluar.

"Chan? Hey, hey, ini aku," Arin menarik tubuh sang suami yang terlihat kelelahan setelah memuntah isi perutnya.

Napas Chan berhembus lemah dan pendek. Ia kembali meringis seraya menunduk, menahan sakit yang tidak Arin ketahui secara pasti darimana letaknya berasal. Kini Arin paham alasan Chan menyalakan shower—guna meredam suara rintihan kesakitan.

"Hey, jangan khawatir. Aku disini, dengar aku?" Suara Arin terdengar bergetar, dia begitu takut dan cemas diwaktu yang bersamaan.

Peluh memenuhi wajah Chan yang pucat, membuat Arin yang melihatnya jadi tak bisa berkata apapun selain menarik laki-laki itu ke dalam pelukannya.

Sewaktu menjalani pengobatan kemoterapi pertama kali, efeknya tidak sampai separah sekarang. Dari yang Arin pantau, Chan hanya merasa lelah sepanjang hari dan terkadang merasakan pusing yang kemudian bisa diatasi dengan obat resep dari Hyunjin.

Namun kali ini sepertinya Chan tidak lagi bisa menahan rasa sakit kepala yang datang bersamaan dengan rasa mual, yang seperti sudah siap membunuhnya.

Perlahan, kepala yang sebelumnya bersandar dibahu Arin itu mulai bergerak menjauh. Tubuh Chan kembali menegak dan tangannya meraba pinggiran kloset. Sepertinya laki-laki itu kembali merasa mual.

Tanpa berpikir panjang, Arin bangkit. Dia langsung menuju kamar Chan, mencari obat yang biasa dia gunakan untuk meredakan rasa sakit kepala dan mual, lalu kembali ke kamar mandi dengan segelas air yang sebelumnya sudah ia ambil.

Arin membantu Chan meminumkan obat dan menunggu paling tidak sampai benda mungil itu mengeluarkan reaksi.

"Bisa bangun? Kita ke kamar biar kamu istirahat," tanya Arin ketika melihat Chan sudah lebih tenang daripada sebelumnya.

gloomy moon • bang chanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang