18--Nasehat dan Ancaman

456K 37.7K 7.7K
                                    

"Nggak gitu maksudnya," ujar Dara penuh penekanan.

"Terus?" tanya Bara, cowok masik asik menciumi perut Dara yang sedikit mulai terlihat membuncit.

"Besok kita ke dokter," ucap Dara.

"Lo sakit?" ujar Bara langsung mendongakkan kepalanya. Tubuhnya yang awalnya miring menghadap perut Dara, kini terlentang menatap istrinya dari bawah. Raut khawatir terlihat jelas dimatanya.

Dara tersenyum geli, "periksa kandungan,"

Mulut Bara hanya membentuk huruf o lalu kembali menyamping, menciumi perut Dara. Posisinya yang tidur dengan berbantal paha Dara membuat cowok itu mudah untuk menyapa anaknya.

"Iya, pulang sekolah." ujar Bara teredam perut Dara.

Keheningan mereka terganggu oleh suara ponsel milik Bara yang diletakkan diatas meja.

Papa is calling

Bara mengangkatnya dengan was-was.

"Hallo pa,"

"..."

"Iya,"

"Kenapa?" tanya Dara saat Bara sudah mematikan sambunganya.

Bara mendengus pelan. "Papa nyuruh kerumah,"

"Gue ikut ya?"

"Gak usah dirumah aja oke?"

"Nanti gue beliin martabak, tadi katanya pengin itu." lanjut cowok itu saat melihat wajah istrinya yang tertekuk.

"Kangen mama," lirih Dara.

"Huh.. Denger, mereka mau bicaraan tentang tadi siang. Dan lo masih banyak luka disini." ujar Bara mengelus pelan luka milik Dara.

Selepas ke markas, Bara dengan hati-hati meminta maaf pada gadis itu sungguh-sungguh. Ia tau itu membahayakan untuk anaknya. Dan ia marah pada dirinya akan hal itu. Untung saja gadis itu hanya mengomelinya dan memaafkanya tentu saja. Dara tau itu bukan salah suaminya.

"Tapi beneran beliin ya?" ujar Dara penuh harap.

Bara menyambar jaket dimeja, lalu menoleh pada istrinya. "Iya," ujarnya pelan. Cowok itu kemudian menundukkan kepalanya agar sejajar dengan perut istrinya.

Pipi Dara bersemu merah saat Bara mengecup perutnya pelan. Kemudian mendongak kearahnya.

"Gak usah nungguin gue pulang, langsung tidur aja," ujar Bara langsung mengecup dahi Dara lembut.

"Pergi dulu," pamitnya.

Mata Dara melotot, eh sumpah tadi Bara menciumnya?

Saoloh jantung gue!!!

_ _ _

"Mau kamu apa Bara?, Papa emang ngebebasin kamu, tapi kamu nggak bisa seenaknya,"

Bara terdiam, tertunduk. Mendengar ucapan Papanya yang memang ada benarnya.

"Berubah, kamu udah mau punya anak." ujar Papa Bara tegas.

Laki-laki paruh baya itu sudah pusing dengan kelakuan anaknya. Dirinya memang membebaskan. Tapi tidak dengan Kakek Bara yang memberi tekanan lebih pada anaknya.

"Iya Pa maaf," ujar Bara penuh penyesalan.

"Dara mana?," alih-alih menjawab Bara, Papa Bara menanyakan keadaan menantunya itu.

"Diapartemen," ujar Bara.

"Papa cuma mau pesen sama kamu, kamu itu udah bakalan jadi bapak. Harusnya bisa membedakan mana yang baik ataupun yang salah. Kamu itu besok jadi panutan anak kamu. Papa yakin istri kamu sepemikiran sama Papa, kamu harus berubah."

"Jangan bikin istri kamu itu banyak pikiran karena kelakuan brandal kamu. Dia udah banyak tekanan, dan kamu harusnya ngurangin beban dia." ujar Papa Bara tegas.

Seperti apa yang dikatakan Papanya. Dara memang menasehatinya seperti itu. Padahal hati Bara sudah berfikir mantap setelah menikah. Dia akan berubah, demi anaknya. Tapi nyatanya memang susah, walaupun akhir-akhir ini dia tidak merokok karena tau itu berbahaya jika dekat ibu hamil. Tapi Randu yang memang selalu cari masalah terhadapnya.

"Kamu hati-hati. Papa emang nggak marah sama kamu, tapi kamu jangan lupain satu orang." Bara sudah paham apa yang akan diucapkan ayahnya itu.

"Jaga Dara supaya dia nggak tau hubungan kalian,"

"Iya," jawab Bara.

Kakeknya selama ini memang tak tau bahwa ia sudah menikah, dan dia memang berniat menyembunyikan fakta itu.

"Kamu itu anak kesayangan Papa, jangan kecewain."

_ _ _

Bara baru saja menggedong istrinya untuk ke kamar. Bandel memang, sudah dibilang jangan menunggunya pulang malah tetap kekeuh.

Mengelus lembut rambut gadis itu, kemudian beralih menatap wajah Dara yang masih terlihat beberapa luka. Mengecup dahi Dara pelan.

Bara tersenyum tipis, ini pertama baginya. Dia tak pernah dekat dengan perempuan. Dan Dara adalah yang pertama. Gadis itu mampu menariknya terlalu jauh dengan pesonanya. Bara akan memulai hubungan yang sebenarnya sekarang.

Ponselnya berdering. Tapi Bara malah mendengus menatap siapa yang menelfon nya.

"Dasar anak sialan!!"

Bara memejamkan matanya mendengar itu, menahan gejolak emosi didadanya.

"Kenapa malu-maluin kakek hah?"

"Bara gak-"

"Apa?, jangan bandel Bara. Kepala sekolah yang langsung bilang sama kakek. Mau ngelak gimana lagi kamu hah?"

"Kamu kakek didik sebagai penerus perusahaan kakek,"

"Bara nggak butuh itu," ujar Bara ketus.

"Oh kamu perlu tekanan sedikit ya ternyata," dibalik sana kakek nya terdengar menimang-nimang.

"Siapa yang selalu berangkat pulang sama kamu?, jauhin dia atau kamu tau akibatnya."

Bara mematung, ia lupa kakeknya punya banyak mata-mata yang mengintainya. Ia paling lemah jika Dara ikut tercampur dalam urusanya.

"Dan satu lagi, berubah atau kakek bakal nyetujuin perjodohan kamu sama Indah," ujar pria tua itu yang langsung memutuskan sambungan.

Berbeda dengan Bara yang masih terdiam. Ancaman kakeknya tak pernah main-main. Apakah hubungan yang baru saja akan dimulainya harus disingkirkan dahulu?

ALDARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang