63--Pertemuan

303K 33.4K 5.7K
                                    

Mata Bara menatap tajam sekretaris Papanya. Laki-laki itu menunduk pelan sebagai bentuk hormatnya kepada ketiga orang laki-laki yang ada dihadapanya.

Bara, Allard dan- Jo, laki-laki itu mengernyit heran melihat Papa bosnya yang secara tiba-tiba datang kesini. Namun ada yang salah dan sedikit aneh. Sebelum menebak, suara Bara sudah lebih dulu mengintrupsinya.

"Papa mana?" kata Bara pelan. Terdengar tegas dari suaranya.

"Pak Aryo ada didalam, kalian boleh langsung masuk," ucapan itu membuat ketiganya secara serentak melangkahkan kaki keruang kerja Papa Bara.

Dengan pelan Bara membukanya. Disana, Papanya duduk dikursi kerja. Membelakangi mereka dan menatap kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari dalam. Ruangan Papanya yang berada dipaling atas membuat terasa nyaman dan menenangkan.

"Pa!" panggil Bara membuat pria itu menoleh dan mematung secara bersamaan.

Dengan perlahan Aryo berdiri, terdiam menatap kearah Reno. Entah sadar atau tidak bahwa yang dihadapanya ini adalah Papanya.

"Pa!" panggil Bara sekali lagi. Sebenarnya hanya untuk mengetes, Papanya itu masih memperhatikan nya aau tidak.

Aryo berdehem pelan. Tubuhnya terlihat agak kaku dan sedikit gemetar, itu yang Bara tau.

"Pa, kenapa kesini?" tanya Aryo. Hal itu membuat Allard dan Bara mengernyit. Tapi kemudian mengangguk paham.

Papanya hanya tau bahwa mereka masih tak mengetahui rahasia besar itu. Dan kini mencoba menutupinya kah?

"Papa, mau coba pura-pura sama Bara?" ujar Bara sinis. "Masih mau coba berpura-pura baik-baik aja saat orang yang sangat diharapkan kini udah ada didepan Papa?" lanjut cowok itu kemudian.

"Dan yang pasti bukan Rizal tapi Reno," bisik Bara memajukan tubuhnya.

"Bara.. Kam-"

"Ya, Bara udah tau. Gimana dong? Hebatkan. Papa yang menutupi fakta itu dari Bara bertahun-tahun. Sampai Bara memang menganggap Rizal sebagai Kakek Bara sendiri. Tapi nyatanya?" Bara terkekeh pelan atas kekonyolan hidupnya.

Saat itu juga Aryo berlari. Menerjang tubuh pria tua itu dengan pelukan. Tak peduli bahwa sikapnya terdengar kekanakan diusianya yang sudah tua.

"Papa.." isak Aryo. Ini yang diharapkanya. Yang ia tau, Papanya meninggalkan-nya saat dia berusia 6 tahun. Tapi Aryo tak sebodoh itu untuk mengartikan bahwa orang yang selama ini mendidik keras dirinya adalah Rizal. Bukan Papanya, dia tak akan tergantikan.

Reno terkekeh kecil. Air mata mengalir disudut matanya. Tanganya membalas pelukan orang yang sangat dicintainya itu. Rasa penyesalan itu datang bertubi-tubi. Matanya menatap Aryo yang masih saja menangis dipelukanya.

Anaknya sudah besar, dan yang Reno tau adalah dia tak ada saat Aryo tumbuh dulu. Tak ada saat Aryo butuh kasih sayang darinya. Tapi mau bagaimana lagi? Takdir yang merancangnya.

"Papa kemana? Aryo takut," bisik Aryo. Dia terlihat seperti Aryo kecil saat ini. Aryo yang dulunya hanya berdiam diri dipojok kamar, ketakutan karena kekasaran yang diberikan oleh Rizal. Memanggil nama Papanya walaupun tak ada jawaban.

"Papamu sudah disini, kau tidak lihat?" niat Reno sebenarnya ingin bercanda. Tapi melihat tubuh Aryo semakin bergetar membuat tangan Reno mengepal disisi tubuhnya. Rizal sialan!

Bara sedari tadi terdiam menatap dua orang itu. Begitu juga dengan Allard. Bara berfikir, sedikit asing dia jika melihat ayahnya yang menangis meraung keras dipelukan Reno seperti itu.

Namun bibirnya tersunging senyum tipis, ini alasan Papanya sangat takut kehilanganya? Memiliki trauma kehilangan orang yang berarti dihidupnya mungkin. Apalagi saat Papanya terlalu membebaskanya.

"Pa," ucapan Bara itu mampu menyadarkan Aryo bahwa disini masih ada dua orang remaja. Dengan pelan, Aryo melepaskan pelukanya.

"Maaf," gumam Aryo pelan. Bara dan Allard hanya mengangguk. Aryo langsung mengusap air matanya cepat.

Aryo mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa yang tersedia diruanganya. Kemudian berdehem pelan.

"Kapan kau tau Bara?" tanya Aryo pada anak semata wayangnya itu.

"Hmm?" gumam Bara menatap mata Ayahnya.

"Perusahaan Papa gimana?" tanya Bara kembali.

"Titik terendah," Aryo menjawab sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaraan sofa.

"Hah. waktu Papa bilang perusahaan dalam keadaan kritis, Bara sama Allard niatnya mau ngebales perbuatan Kakek. Tapi malah dapet fakta kaya gini," ujar Bara menjelaskan.

"Rizal dimana ya?" tanya Allard menerawang.

"Dirumahnya bego!" umpat Bara pada Allard.

"Ya terus sekarang?" tanya Allard sekali lagi.

"Kita kesana!" titah Reno yang sedari tadi diam tak berbicara.

"Kakek yakin?" tanya Bara ragu, pasalnya Kakek-nya itu masih memiliki sedikit trauma kan?

Reno menghembuskan nafas kasar. "Ya! Kenapa enggak?" ujarnya tersenyum misterius.

"Oke!" Allard bangkit dari duduknya. "Sekarang?" ujarnya tersenyum tipis.

_ _ _


"Maaf," kata-kata itu terus terucap dibibirnya. Pria tua itu menaburkan bunga ke gundukan makam.

Dua makam yang berdampingan. Terawat bersih walaupun masih ada sedikit rumput nakal yang hinggap.

"Kalian harus berada disini selamanya." ujarnya terdengar penuh penyesalan. Tapi kemudian bibirnya tersunging senyum sinis.

"Tapi itu yang paling bagus, salah siapa kalian melawanku dulu," terkekeh, pelan. Rizal pria itu bangkit perlahan. Keranjang bunga yang dibawanya dibuang kesembarang arah.

Berpuluh-puluh tahun lalu, dua nyawa melayang. Dan itu karena mereka bermain-main sedikit denganya.

Maka tak salah kan Rizal jika bermain-main sedikit dengan dua orang itu?

"Apakah ada rahasia yang disembunyikan lagi Kakek?"

Jantung Rizal berdegup lebih kencang mendengar ucapan itu. Dengan kaku ia menoleh kebelakang.

"Ekhem, ngapain kesini Bara, Allard?" Rizal mencoba menenangkan nada suaranya.

"Loh, nggak boleh? Pemakaman umum kan?!" sentak Allard langsung membuat Rizal mendengus keras.

"Ya, terserah!" Rizal hendak beranjak pergi dari sini sebelum suara dari belakangnya membuat tubuh pria tua itu mematung.

"Apa kabar Kakak?"

_ _ _

Kalau ada typo bilang. Nulis mendadak ini.

Vote dan komen ya,

Salam sayang

ALDARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang